Islam sangat memperhatikan kehidupan sosial masyarakat dan selalu ikut berperan dalam memberikan dan menjadi problem solving bagi seluruh problem itu, seperti yang ditegaskan dalam al-Quran dan Sunnah. Itu semua dikarenakan Islam adalah agama sosial, datang untuk memuliakan dan mengangkat derajat manusia, maka Islam memadukan antara makna rohani kehidupan dan makna kehidupan sebagai realita yang dihadapi.
Islam sendiri datang sebagai rahmatan lil alamin, mengajak manusia bersatu dalam perbedaan (unity in diversity). Islam tidak memberikan gambaran kehidupan itu sebagai sebuah lingkungan egoisme dan kesendirian, tapi selalu memberikan gambaran sosial, kebersamaan dan selalu mengajak untuk bersama dan bermasyarakat, berpengaruh dan memberikan pengaruh yang positif dalam masyarakat.
Islam melihat bahwa manusia dalam bermasyarakat itu terikat oleh rasa cinta dan kesamaan, makanya perhatian Islam terhadap masyarakat umum sangat besar, itu semua tercermin dalam tatanan sosial kehidupan yang diatur Islam, selalu dalam kebersamaan, karena hanya dangan keharmonisan dan kebersamaan kita bisa menggapai keridhoan-Nya. Dalam khitab taklify (Obligatory Speech) baik perintah ataupun larangan semuanya berbentuk umum, ya ayyuhannasu, yaayyuhalalazina amanu, semuanya dengan lisan jamaah.
Ketika Islam memberikan perhatian kepada masyarakat secara umum, Islam juga memberikan perhatian khusus bagi kelompok-kelompok yang lemah dalam komunitas sosial itu. Hal ini bisa kita lihat dalam ajakan al-Quran dan sunnah untuk selalu memberikan perhatian kepada anak-anak yatim, orang miskin, orang tua dan hamba sahaya (budak). Itu semua tercantum dalam ayat-ayat madani (ayat al-Quran yang turun pada periode Madinah, setelah hijrah) maupun Makky (ayat al-Quran yang turun pada periode Makkah, sebelum hijrah). Karena setiap kelompok itu lemah dalam satu sisi kehidupan mereka, anak yatim misalnya tidak memiliki orang tua, orang miskin tidak memiliki harta, orang tua tidak memiliki kemampuan berusaha, dan budak tidak memiliki kebebasan. Sedikit menyinggung masalah perbudakan, bahwasanya Islam itu menghapus perbudakan sejak 14 abad yang lalu, jauh sebelum Abraham Lincoln mendeklarasikan penghapusan perbudakan.
Ketika orang bertanya kenapa dalam kitab-kitab fiqh yang merupakan gambaran konstitusi dalam Islam menjelaskan tentang cara memperlakukan budak? Bukankah itu sebuah pengakuan akan eksistensi perbudakan? Kita akan mengatakan bahwa tidak ada satu ayat pun dalam al-Quran yang mendeklarasikan legalitas perbudakan, adapun pengakuan adanya perbudakan itu dipahami dari banyaknya ayat-ayat yang menyuruh untuk memerdekakan budak.
Tidak ada satu riwayat pun yang mengatakan bahwa rasulullah pernah melegalkan perbudakan terhadap orang merdeka, baik dalam keadaan damai ataupun perang. Tapi kenapa Islam tidak secara langsung melarang perbudakan? Itu semua dikarenakan Islam menjaga hak milik perorangan, ketika Islam datang tradisi perbudakan sedang maju dan berkembang pesat, maka tidak bijaksana sekali kalau langsung mewajibkan orang-orang untuk melepaskan budak mereka, karena pada saat itu perbudakan adalah adat yang sudah diterima di masyarakat dan budak yang ada di tangan mereka adalah hak milik mereka. Itu adalah salah satu hikmah dari tasyri’ islamy yang bersifat tadriji (Gradual). Seandainya Islam ketika datang langsung menyuruh untuk memerdekakan budak, maka akan banyak orang yang belum kuat imannya memberontak. Tetapi Islam membuat cara lain untuk membebaskan dunia dari perbudakan, yaitu dengan menjadikan pemerdekaan budak sebagai sanksi atas pelanggaran, misalnya pelanggaran sumpah, berbuka puasa di siang ramadhan secara sengaja, pembunuhan secara tidak sengaja, memukuli budak, semua pelanggaran itu hukumannya adalah memerdekakan budak.
Ketika kita meremehkan kelompok yang lemah dalam masyarakat kita, itu artinya kita telah menyia-nyiakan satu sumber kekuatan yang bila dipergunakan akan menghasilkan sebuah power yang maha dahsyat. Rasulullah telah menyinggung peran kelompok lemah ini dalam kehidupan sosial, bahwa mereka adalah sumber kekuatan dalam peperangan dan alat produksi dalam kedamaian. Dengan kekuatan dan keikhlasan mereka, Allah menurunkan pertolongan-Nya dalam perang dan dengan keuletan serta kerja keras mereka, umat bisa berproduksi dan menghasilkan banyak hal. Dalam hadist riwayat Bukhari rasulullah mengingatkan sayyidina Sa’ad bin Abi Waqqash “Tidak mungkin kamu akan diberikan kemenangan dan rezeki yang banyak oleh Allah kalau bukan karena orang–orang lemah itu”
Oleh karena itu semua, Islam mengajak seluruh komponen masyarakat untuk selalu memperhatikan nasib-nasib mereka yang lemah itu, dan selalu mencukupi kehidupan mereka disaat mereka lemah dan tidak mampu lagi berproduksi. Yang memiliki ekonomi kuat agar memperhatikan nasib yang memiliki ekonomi lemah, yang sudah kuat agar tidak pernah lupa untuk selalu memegang tangan yang lemah, membantu mereka, meskipun hanya dengan satu langkah untuk maju ke depan.
Kehidupan sosial menuntut kita untuk tetap memberikan sumbangsih demi kelangsungan hidup sesama disaat ada sebagian diantara kita lemah, bahkan masyarakat modern hari ini telah berusaha ke sana dengan cara Asuransi Bersama, tapi cara itu sangat tidak mudah dicapai. Jauh-jauh hari Islam telah menggariskan jalan menuju kepada kesejahteraan bersama itu dengan Takaful Jamai (Solidaritas bersama) melalui keluarga, masyarakat kecil sampai kepada umat dalam satu Negara. Islam mencanangkan beberapa methode untuk itu, antara lain: Kewajiban nafkah atas kepala keluarga, Zakat, Wakaf, Sedekah serta Kafarat (denda) yang wajib secara hukum.