Dalam Aksara Jawa dalam bahasa sangsekerta mengandung kisah sebagai berikut; Dulu ada sebuah kisah (Ha-Na-Ca-Ra-Ka) ada 2 murid (Da-Ta-Sa-Wa-La) yang diuji oleh gurunya, yang satu ditugaskan menjaga keris (Melungker Iso Ngiris) istilah senjata di zaman itu sebagai amanah gurunya, dan murid satu lagi di lain tempat dan waktu ditugasi mengambil keris tersebut dengan segala cara apapun, (Pa-Da-Ja-Ya-Nya) Keduanya sangat taat menjaga amanah guru, sama saktinya dan teguh memegang prinsip amanah guru, hingga (Ma-Ngga-Ba-Ta-Nga) keduanya tewas dalam prinsip kuat memegang amanah guru mereka yang sebenarnya adalah orang yang sama.
Itulah nilai filsafat sangsekerta adiluhung yang diajarkan oleh nenek moyang bangsa Nusantara ini, diambil dari Qur’an Surat Annisa 59 “Taatilah Allah dan Taatilah Rasulullah”, Ulama/guru adalah pewaris para nabi, maka tugas murid adalah Manut pada guru, Titik! Dan tidak perlu koma, tidak butuh tapi, apalagi hingga abai dan menolak panggilannya.
Beruntunglah mereka yang menjadi murid hakikatnya, dia dibina, Dido’akan bahkan hingga diselamatkan, ada kalimat hikmah seorang guru “jika takdirku adalah neraka, maka aku rela menaruh kaki muridku di atas kepalaku, agar mereka tidak merasakan panasnya siksa neraka di akhirat nanti”. Maka benar dalam kitab taklim mutaallim, ketaatan kita terhadap guru mengajarkan kita kepada Allah 900 kali lipat pahalanya dari ketaatan kita kepada orang tua kita.
Guru mengarahkan murid dengan mata batin, dengan rasa, dan hingga dengan air mata, sedangkan murid hanya melihat guru dengan pikiran dan “baju” yang tampak.
Tidak ada seorang gurupun yang sanggup melihat penderitaan muridnya, meski ia dalam kecukupan, hanya guru palsu yang bisa makan di saat para muridnya serba kekurangan. Setau saya guru yang menerima ciuman tangan muridnya, hakikatnya menanggung selamat tidaknya muridnya hingga akhirat nanti. Sungguh berat menjadi guru!
“Manutlah” (baca; Taat) pada gurumu, mumpung beliau masih hidup, kau akan merasa sangat kehilangan, jika beliau tak lagi bisa menyapamu. Taat saja, tidak usah tapi, karena ridho nya adalah hikmah dan pembuka rizki, jika gurumu sudah ridlo, maka Allah akan membuka hikmah yang tak ada dalam pikiran dan besitan pengalamanmu sekalipun.
Biar kau miskin asal gurumu ridha, ketimbang kau kaya, tak pernah merasa ada yang mendampingi apalagi mendoakan mu, kayamu hanya menjadi bangkrut dan merugi kata Rasulullah Saw dalam pititurnya.
Dulu ada santri bodoh, jarang naik kelas, kata kiainya “Meski kau tidak pintar nak, saya doakan minimal kau kaya raya”, benar saja santri bodoh itu sekarang penjual mesin pencetak paving, kaya raya, ini kisah nyata, bukang sinetron layangan putus yang fatamorgana itu, saya kenal kiainya dan kenal santri kaya itu, pernah datang keduanya ke pesantren saya, percayalah, karena saya juga tidak sedang membual kata.
Orang alim dan guru itu tua dan harus mutlak dihormati meski umurnya lebih muda, dan murid itu tetap muda, meski umurnya sudah banyak. Abah saya hari ini, mencium tangan dan patuh pada gurunya padahal umurnya di bawah saya anaknya.
Jika gurumu sudah mempercayaimu sebagai murid 100% harusnya kau bisa percaya kepada beliau 1000%, maka Allah pasti akan membuka tabir hikmah dalam perjalanan mu dan “menjatahmu” dengan kebahagiaan di dua dimensi (dunia dan akhirat. Wes to, manuto, Enak-enak !!