Umat Islam itu jangan diajari soal toleransi. Islam dari sedari awal telah menerapkan standar toleransi jauh sebelum Barat mengenali istilah toleransi itu sendiri.
Jika tanpa toleransi, Umar bin Khattab telah menutup semua gereja di Yerussalem saat Islam berhasil menaklukkan dan membebaskannya dari cengkreman Konstatinopel dan merubahnya menjadi masjid.
Umar bin Khattab pernah menolak shalat di gereja saat tibanya waktu shalat Zuhur lantas ditawarkan oleh pendeta Saphronius untuk shalat dalam gereja.
Hanya disebabkan, Sayyidina Umar khawatir jika beliau shalat di gereja, maka tentu ke depannya umat Islam akan shalat di gereja-gereja, hingga tidak menutup kemungkinan akan ada banyak gereja yang dikuasai umat Islam akan direbut dan dirubah menjadi masjid.
Namun, Sayyidina Umar tidak melakukan hal itu, sebab beliau paham dan mampu menempatkan pemahaman terhadap apa itu makna toleransi beragama. Itu yang namanya toleransi beragama.Mengucapkan selamat atas perayaan umat yang berbeda akidah dan keyakinan, bukanlah bentuk dan sikap toleransi.
Sikap terbaik adalah membiarkan setiap pemeluk agama dengan segala keyakinan dan kepercayaannya, tanpa harus kita mengintervensi ke ranah akidah.Umat kita punya keyakinan dan umat lain punya keyakinan. Biarkan sesama keyakinan itu berjalan sesuai koridor dan fitrahnya.
Biarkan keduanya berjalan secara serasi, damai, dan harmonis, tanpa ada ajakan atau himbauan untuk saling bertoleransi.Toh sejak dulu, kita tidak pernah ribut-ribut soal toleransi, sebab kita dulu sama-sama paham apa yang disebut dengan hakikat toleransi beragama itu seperti apa.
Tanpa adanya ajakan untuk saling bertoleransi, tanpa harus umat Islam menjaga gereja, toh toleransi itu akan tercipta dengan sendirinya, jika kita mampu menghargai pendirian akidah masing-masing kepercayaan dan keyakinan agama itu berjalan dengan sendiri-sendiri.
Jika ada himbauan atau bahkan adanya terkesan paksaan untuk bertoleransi, itu namanya bukan lagi “toleransi”, tapi boleh jadi “telor asin”.