Sejak kecil sepak bola adalah menu wajib baginya. Dengan modal dari Gontor, ia mengatasi berbagai persoalan yang di hadapi pesantren-pesantren di Aceh.
Seandainya Gontor tak memiliki lapangan bola, barang kali Tengku Fakhruddin Lahmuddin (36) tak akan pernah mondok di pondok modern itu. Sejak usia 10 tahun, sepak bola seakan menjadi menu wajib baginya setiap hari. Ia mengaku tertarik masuk Gontor karena sepak bolanya. Namun toh itu hanya pemicu. Ketika sudah nyantri di Gontor, waktunya lebih banyak untuk belajar dan mengaji.
Selepas dari Gontor pada 1992, Fakhruddin mengabdikan diri untuk mengelola Pondok Pesantren Oemar Diyan, Idrapuri, Aceh Besar. Tak lama setelah itu, ia kemudian bertemu dengan seorang hartawan yang memintanya membangun pesantren anak-anak yatim, yang selajutnya dinamai ”Al-Manar”, Aceh Besar.
Sebelum menyetujui, ia menegaskan kepada hartawan pewakif itu apa yang dimaksud dengan pesantren. Jika akadnya untuk kemaslahatan umat, Fakhruddin akan menyanggupi. ”Tapi kalau maksudnya untuk kepentingan politik saya tidak mau,” tegasnya.
Untuk menjaga dan memperjelas komitmen itu, Fakhruddin membuat aturan main: Ia yang mengelola sistem, sedang pewakif mengurusi yayasan. Yayasan tidak bisa mencampuri sistem pesantren, materi pelajaran, hingga rekrutmen murid dan gurunya. Aturan main ini akhirnya disepakati.
Selain dua pondok di atas (al-Manar dan Oemar Diyan), Fakhruddin juga tercatat mengelola pesantren ”al-Fauzul Kabir” yang operasionalnya dibiayai Pemda. Pada tahun 1995 pesantren itu nyaris hancur, padahal sebelumnya santrinya banyak (mencapai 1000 orang) dan punya reputasi bagus.
Oleh Bupati, Ketua DPRD, Sekda dan para pejabat Aceh, Fakhruddin diminta untuk memikirkan pesantren ”al-Fauzul Kabir” agar bisa berjalan dengan baik. Awalnya ia tak mau, tapi setelah didesak terus, Fakhruddin luluh juga. Namun begitu, ia tak terjun langsung dalam mengelola al-Fauzul Kabir. Ia hanya menjadi penanggung jawab, sedang pimpinan pondoknya diserahkan kepada Ustadz Zahri Yusuf dari Pesantren Oemar Diyan.
Hal serupa terjadi pada 2006, yaitu ketika pesantren ”Al-Mujaddid” memintanya mengurus pesantren yang hampir saja bubar itu. PJ Walikota meminta Fakhruddin mengelola dan memikirkan pesantren itu. Ia pada awalnya tidak bersedia, namun dipaksa terus. Oleh Fakhruddin hal ini ia sampaikan kepada Ustadz Sayid Nazar, yang waktu itu memimpin Gontor 10 di Aceh. Sayid Nazar ditemani Irsalullah merasa siap. Maka dibuatlah MoU.
Menurut pria kelahiran 16 Desember 1973 itu, mengelola pesantren bagi sebagianorang dari luar terlihat begitu entang dan sederhana. Tapi sebetulnya kalau sudah masuk ke dalam, untuk membuat anak betah saja, luar biasa susahnya. Karena mereka tidak merasakan bagaimana problematikanya, mulai SDM gurunya hingga operasionalnya. Apalagi pesantren memadukan kurikulum Gontor dan Depag.
Kini, lelaki yang saat ini menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Aceh Besar itu menerima setumpuk amanat. Sebagai pimpinan pesantren, dosen IAIN Ar-raniry dan Wakil Ketua Komda PSSI Banda Aceh. Semua itu diakuinya, berangkat dari konsep pendidikan yang diterimanya di Gontor: ”Hidup sekali hiduplah berarti” dan ”Khairun naasi anfauhum linnasi” (Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain).
Namun meskipun sehari-hari disibukkan dengan berdakwah, Fakhruddin tetaplah sosok yang dulu mencintai sepka bola. Lihatlah sampai hari ini, segala macam perlengkapan keseharian mulai pakaian resmi, training, bola sepak, laptop, dan setumpuk buku, tersedia di mobilnya. ”Jadi sehabis main bola bisa langsung ceramah,” kata suami dari seorang dofkter itu ceria.
Source | http://majalahgontor.net/