Teruntuk Ustadz-ku.
Semoga suara hati kecil ini sampai padamu.
Suatu hari pernah saya menunggu adik-adik binaan di masjid untuk melingkar rutin setiap pekan. Sejam lebih saya menunggu dan mereka tak kunjung datang. Sakit hati? iya, tapi Ustadzlah yang mengajarkan untuk bersabar.
Suatu hari pernah saya menaati perintah abang dan kakak untuk mengelola kegiatan dakwah di fakultas. Dimana teman-teman sepantar saya sudah melanggeng lulus universitas. Karir yang terputus dan tidak berbekas. Sakit hati? iya, tapi Ustadzlah yang mengajarkan untuk bersyukur.
Suatu hari pernah saya menyesali tumbuh dan besar tanpa kehadiran seorang ayah. Melihat teman, saudara, bahkan orang lain memeluk ayah mereka dengan cinta. Sakit hati? iya, tapi Ustadzlah yang mengajarkan saya untuk berkasih-sayang.
Ustadz…ingatkah dulu kita sering bercengkrama, tertawa, bercerita, membaca, memahami, mencintai, mengasihi dalam sebuah lingkaran kecil itu. Ingatkah?
Ustadz…ingatkah dulu engkau yang mengajarkan betapa besarnya kuasa Tuhan, betapa baiknya hukum Tuhan, betapa istimewanya jalan Tuhan, betapa luarbiasanya kasih dan sayang Tuhan. Ingatkah?
Ustadz…ingatkah dulu engkau yang mengajakku dalam setiap munashoroh, mengingatku dalam setiap langkahku, menegurku dalam setiap kesalahanku, memaafkanku dalam setiap kesalahanku. Ingatkah?
Ustadz…ingatkah dulu engkau yang membimbingku masuk, meniti, menuntun, menunjukkan jalan Dakwah bersama jama’ah ini. Menjadikan jama’ah ini menjadi jalan hidupku. Ingatkah?
Setahuku, perbedaan adalah rahmah, dan perpecahan adalah musibah. Engkau juga yang mengajarkannya padaku.
Setahuku, berjama’ah adalah jalan cinta ikhtiar kita. Engkau juga yang mengajarkannya padaku.
Setahuku, Rabithah (ikatan) kitalah yang mempererat cinta kita karena Allah, bukan hanya aku padamu, tapi anak-anakmu padamu. Engkau juga yang mengajarkannya padaku.
Maafkan aku yang tidak bisa menahan amarahku.
Maafkan aku yang tidak bisa menahan egoku.
Maafkan aku yang tidak bisa lebih baik dari harapanmu.
Maafkan aku yang tidak bisa berterimakasih padamu.
Ustadz, entah kenapa keyakinanku runtuh dengan kepergianmu. Entah kenapa kekuatanku luluh dengan menjauhnya dirimu. Entah kenapa ghiroh dan semangatku luntur dengan kehilangan dirimu.
Ustadz, bukankah jama’ah kita ini bangunan yang kokoh? Bukankah engkau sebagai qiyadah ku yang mengatur kemudian mengarahkan? Bukankah diriku sebagai jundimu yang menjalankan dan mempertahankannya? Lantas kenapa engkau pergi meninggalkan bangunan yang kokoh ini?
Ustadz, jikalau sebegitu sakit hatimu sehingga rela meninggalkanku dalam rumah ini, rumah yang dulu kau dirikan, kau bangun, kau perjuangkan, demi kami Jundi-Jundi mu. Maka aku rela untuk melepas kepergianmu.
Ustadz, haruskah perpisahan ini kita ingat? Atau dianggap seakan tak pernah ada? Haruskah setiap saat kupanjatkan doa Rabithahku untuk mempertahankanmu?
Ustadz, terimakasih sudah mengenalkanku dengan jama’ah ini, terimakasih sudah membawaku kepada jama’ah ini, terimakasih atas segala dedikasimu sudah membesarkan diriku dalam jama’ah ini.
Ustadz, engkau abiku, guruku, pembimbingku, tuntunanku, contoh dan suri tauladanku, murabbiku. Doa kupanjatkan untuk keselamatanmu, keberkahanmu.
Kan kukenang semua ikhtiar kita dalam lubuk hatiku.
“Sesunguhnya Engkau tahu, bahwa hati ini telah berpadu,
berhimpun dalam naungan cintaMu.
Bertemu dalam ketaatan, bersatu dalam perjuangan.
Menegakkan syariat dalam kehidupan.
Kuatkanlah ikatannya, kekalkanlah cintanya.
Tunjukilah jalan-jalannya.
Terangilah dengan cahayaMu yang tak pernah padam.
Ya Rabbi bimbinglah kami”
Semarang, 22 Oktober 2018
Dari jundimu yang akan menjaga rumah ini, sehingga saat kau ingin kembali, maka pintu takkan pernah terkunci.