Perang di Ukraina sudah melewati 100 hari pertama, siapapun yang menang nantinya, dalam hal ini Rusia atau NATO, maka dunia pasca perang ini akan berbeda. Ketika NATO menghajar Serbia tahun 1999, kondisi politik Rusia dalam negeri masih sangat tegang, dan militer berantakan, sertasituasi ekonomi masih belum stabil.
Namun 9 tahun kemudian, ketika Rusia mengintervensi dalam konflik di Georgia sehingga terbentuklah South Ossetia dan Abkhazia, pada saat itu Menlu Inggris “menegur” Menlu Rusia, Sergey Lavrov karena intervensi militer tersebut dan Menlu Lavrov menjawab, “who are you to fuc*** lecture me!”, dunia tahu Rusia 2008 bukanlah Rusia 1999 lagi. Perimbangan kekuatan atau external balancing mulai terlihat kembali, ditambah lagi dengan munculnya China di kancah internasional.
Negara-negara di Timteng, kecuali (Suriah, Iran, dan Irak), selama beberapa dekade terakhir merupakan negara-negara sekutu AS yang selalu “sam’an wa to’atan” terhadap apapun yang dikatakan AS. Namun, setelah Rusia menginvasi Ukraina, mulai “meulanggeh” terhadap perintah AS, bahkan Arab Saudi dan UEA yang selama ini dicucut hidungnya oleh AS, berani menolak permintaan AS untuk meningkatkan produksi migas untuk memenuhi kebutuhan migas dunia akibat embargo yang dikenakan Barat terhadap Rusia.
Presiden AS, Joe Biden telah berkunjung ke Arab Saudi pada bulan juli 2022, sebulan sebelum kunjungan itu terjadi media sudah heboh, karena Biden diisukan akan mendirikan NATO Arab sebagai power balancing untuk melawan hegemoni Iran yang dikhawatirkan akan memiliki senjata nuklir dalam waktu dekat setelah gagalnya JCPOA, meskipun kegagalan itu belum diumumkan secara resmi.
Terus banyak yang mempertanyakan komitmen Biden terkait dengan HAM, kalau dia tetap berkunjung ke Arab Saudi dan bertemu dengan Mohammad Bin Salman (MBS) yang dituduh sebagai dalang dibalik “penggergajian” Jamal Khasogi tahun 2018 yang lalu. Sederhana saja Biden menjawab, “I’m not going to meet with MBS. I’m going to an international meeting, and he’s going to be part of it.” Presiden Biden katanya menghadiri undangan Raj Salman dalam pertemuan GCC+3 Summit (Gulf Cooperation Council plus Egypt, Iraq, and Jordan).
Sejak menjadi Presiden AS, Joe Biden belum pernah bertemu dengan MBS, padahal MBS adalah the King of KSA. Setelah Biden mengatakan “Gua ke Saudi bukan mau ketemuan sama dia, kok!”, tampaknya MBS merasa ditantang, sehingga akhirnya MBS melakukan maneuver politik yang cukup bagus.
Pertama: MBS berkunjung ke Mesir dan bertemu Presiden Abdel Fattah Al sisi. Biasalah, orang kaya kalau berkunjung dan ingin mendapatkan loyalitas, bawa uang. Tidak tanggung-tanggung, Presiden Sisi tanpa harus mengatakan “Please Invest in my country”, MBS membawa investasi sebesar 30 miliar Dollar.
Kedua: Dari Mesir, MBS terbang ke Yordania dan bertemu dengan Raja Abdullah. Dalam pertemuan tersebut, kedua pihak mengumumkan berakhir krisis “Fitnah” yang melanda Yordania beberapa waktu yang lalu, dimana Pangeran Hamzah “tertuduh” ingin melakukan kudeta dengan dukungan Arab Saudi. Meskipun Raja Abdullah tidak menuduh Arab Saudi sebagai dalang, namun pasca insiden tersebut, hubungan kedua negara mulai tegang.
MBS berhasil sepakat dengan Presiden Sisi dan Raja Abdullah untuk satu suara dalam seluruh isu-isu penting di kawasan sebelum Presiden Biden datang. Artinya, apapun yang akan dibicarakan nanti dalam KTT tersebut, MBS sudah mengamankan dukungan dari Mesir dan Yordania.
Ketiga: Dari Yordania, MBS terbang ke Turki dan bertemu dengan Presiden RTE. Terlepas dari suka atau tidak dengan Presiden RTE, patut diacungi jempol atau kepiawaiannya dalam manajemen konflik. 2 tahun lalu, RTE tidak memiliki kawan di kawasan kecuali Iran dan Qatar. Tapi dengan kecerdikannya, beberapa musuh bebuyutannya kembali menjadi kawan, seperti Israel, UEA dan Arab Saudi. Tinggal menunggu normalisasi hubungan dengan Mesir.
Dalam pertemuan tersebut, kedua pihak sepakat untuk melupakan semua masalah yang ada dan menyatukan suara dalam seluruh isu-isu terkait kepentingan bersama di kawasan.
Presiden Biden berpikir ulang sebelum berkunjung ke Arab Saudi bulan depan, katanya bukan mau bertemu dengan MBS, tapi MBS seakan mengatakan, “Kau mau kemanapun, aku selalu ada disana, Joe…”
Dalam teori hubungan internasional, terdapat tiga pilihan external balancing: koalisi, komunitas keamanan dan kemitraan strategis.
Kalau dalam koalisi, definisi ancaman sudah jelas, namun sifatnya kontemporer, sehingga tidak cocok digunakan sebagai instrument perimbangan kekuatan yang bersifat jangka panjang. Sementara komunitas keamanan, lebih bersifat sebagai peredam konflik, dibandingkan sebagai instrument perimbang kekuatan.
Sementara kemitraan strategis utamanya dibangun karena tujuan bersama (goal driven), bukan karena ancaman bersama (threat driven). Kemitraan ini memiliki kelebihan lebih mudah diterima oleh elemen politik domestik maupun politik internasional.
Makanya, kalau MBS mampu menjadikan negara-negara besar di kawasan, seperti Mesir, Turki, bahkan Iran sabagai mitra strategis, maka inilah saatnya dunia Timteng untuk melepaskan diri dari cengkraman AS, dan mencari alternatif sekutu yang kuat, mungkin Rusia atau China. Serta membangun kembali tatanan yang sudah rusak serta mengembalikan Suriah, Libya, Yaman dan Sudan ke posisi awalnya di tengah dunia Arab dan dunia Islam.