Istilah Abu Sittin sangat familiar di antara para alumni Pondok Modern Darussalam Gontor, ketika istri saya menanyakan hal ini, menurut keterangan Bu Nyai Masruri Darul Istiqomah Bondowoso ketika mengunjungi pesantren kami, Abu Sittin adalah julukan bagi alumni Gontor yang usianya di atas 60 tahun, bukan lulusan 60-an, maka siapa saja yang masuk katagori ini boleh menjadi bagian dari Abu Sittin yang fenomenal ini.
Menariknya komunitas Abu Sittin ini sangat semangat dan kompak dalam ber-lailatul Ijtima’ (baca; bermusyawarah) di berbagai tempat, mulai hotel di Batu, di pinggir pantai hingga saat kami bertemu di salah satu Villa yang dikelola Cak Yuss Adik kandung dari MH. Ainun Najib/Cak Nun Kiai Kanjeng di dekat Pesantren kami di lereng gunung Anjasmoro, Wonosalam, Jombang.
Kiai Masruri Abdul Muhith menyambungkan kami dengan Abu Sittin, komunitas ini bikin banyak angkatan alumni Gontor minder dan keder, bagaimana tidak bergengsi, di dalamnya juga ada Para Kiai Gontor yang kesemuanya sangat menghormati beliau sebagai pucuk pimpinan dan teladan kami semua, Senda tawa khas sesepuh selalu menghiasi obrolan mereka, murid-murid saya para pengusaha sempat heran melihat saya, setiap berkenalan, menciumi tangan mereka penuh takdzim, saya katakan mereka “Ayo tiru saya, cium tangannya, mereka orang hebat, wali semua nih!”, Merekapun langsung spontan menirukan saya.
Dalam foto yang saya unggah ini Ustadz yang dijuluki “Blue Jeans” berkelakar bahwa beliau adalah Ketua Mustasyar NU di salah satu kabupaten di Jawa Timur, khusus pagi ini tidak baca qunut, karena yang diimami sahabat satu kamarnya adalah tokoh Muhammadiyah, Kiai Jebolan Inggris yang nyentrik ini menyadari bahwa salah urusan furu’iyah (cabang agama non substanstif) haruslah elastis seperti logo NU yaitu tali yang tidak kencang, maka beliau sambil ketawa bercerita ” Saya tadi subuh sengaja tidak qunut, karena menghormati Makmum saya yang Muhammadiyah, hebat beliau semalaman baca Qur’an hingga larut malam, maka Qunut saya sudah dijama’ oleh bacaan Qur’an beliau yang semalaman itu” begitu jelas pria Kelahiran Tuban ini sambil tertawa renyah.
Oh Iyah, saya jelaskan kenapa disebut Blue Jeans, normalnya Tokoh NU itu sarungan, tapi beliau lebih sering terlihat memakai celana Jeans dan sepatu Cats Khas ala Amerikano. Tampangnya Amerika Milenial, tapi Hatinya Tetap NU.
Keduanya saya yakin orang yang Soleh, umur sudah di atas 60, yang satu membaca Qur’an hingga pukul 01.00 WIB dini hari, dan yang satu dengan lapang dada, penuh empati tidak membaca qunut meski ini sangat beliau yakini secara Syara’ demi menghormati saudaranya yang sebagai Ulama’ Muhammadiyah, keduanya bisa sangat ringan bersahabat, Gontor dengan motto Di Atas dan Untuk Semua Golongan, nampaknya menjadi filosofi hidup yang kuat dalam memerankan peran menyebar kasih sayang dan saling hormat dan empati antar umat Islam. Bukankah Umat Islam itu Bersaudara ? Lantas kenapa masih ada istilah Minhum dan Minna (golongan mereka dan golongan mereka) ?
Dibutuhkan kebesaran hati untuk membesarkan bangsa ini, kejadian yang kami alami saat ingin mendirikan sekolah dasar, silaturahim ke salah satu sekolah Muhammadiyah belajar kurikulum dan konsep pendidikan sebagai referensi kami sebelum sekolah itu didirikan, kebetulan kepala sekolah nya alumni Gontor, saya kira niat kami akan disambut baik, ternyata jawabannya adalah “Mohon maaf ini rahasia perusahaan!” Semestinya tidak perlu terjadi, jika difahami saya adalah NU, bukankah jika semakin banyak sekolah di NU dan Muhammadiyah berkualitas baik, maka harkat dan martabat Bangsa ini akan cepat naik, dan beban kita menyiapkan masa depan generasi mendatang akan lebih ringan? Butuh kebesaran hati memang untuk sampai pada pemahaman itu. Sinergi adalah kunci utama, Muhammadiyah ajarkan rumus sekolah kepada NU, dan NU ajarkan rumus pesantren kepada Muhammadiyah, Saya yakin, Merdekalah Indonesia.
Dalam sebuah kesempatan Kiai Hasyim Muzadi Ketua PBNU dan Pak Din Syamsuddin Ketua Umum Muhammadiyah mendampingi tamu luar negeri yang mengunjungi Indonesia, ketika tamu itu serius bertanya kepada Mbah Hasyim setelah dijelaskan Pak Din, tentang Jumlah dan Prestasi Sekolah Muhammadiyah, tamu itu bertanya, “Lalu berapa jumlah sekolah NU pak Kiai?” Kiai Hasyim menjawab sambil guyon “Asal sekolah yang tidak ada logo Muhammadiyah itu semua milik NU”, Kesemuanya tertawa terbahak-bahak, tidak ada yang tersinggung, semua menjadi rahmatan lil Alamin.
Kiai Sururi Mengajarkan tentang kesederhanaan, meski sudah sepuh dan pondoknya sudah besar, tidak gengsi “ngendangi” anak-anaknya yang muda merintis pesantren, Ustadzh Blue Jeans mengajarkan kita tentang keluwesan, kekinian dan taat pada nilai substanstif dalam agama bukan pada cover semata. Dan puncaknya, Kiai Hasyim dan Pak Din mengajarkan kita tentang kebesaran jiwa membesarkan Bangsa.
Jika semua orang Islam meniru beliau semua yang mulia, saya kira kita akan sangat cepat menjadi bangsa yang maju, tidak perlu 2045 untuk menuju Indonesia Emas, cukup 2035 sepuluh tahun lebih cepat kita akan meraihnya, meski syaratnya adalah kerja keras, keterbukaan, saling menguatkan bukan saling curiga dan Tuhan dijadikan sebagai sumber Energi dalam menuju Indonesia Emas. Tabik.