oleh : Al-Ustadz Nashrullah Zarkasyi
Salah Satu Putra Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor
Pagi itu, tiba-tiba saja, terjadi keributan yang luar biasa. Teriakan kata-kata kotor dan provokatif, ditingkah dengan pukulan terhadap benda apa saja dari santri yang lain, menyentakkan ketenangan pondok. Sejumlah santri bergerombol, mirip demonstrasi mahasiswa; beringas, emosional, serta anarkis. Aksi corat-coret yang vandalis, dengan tulisan agitatif berakhlaq rendah di mana-mana. Teriakan dan bentakan kyai pun tak lagi mereka hiraukan. Setan telah begitu merasuki santri yang paham maupun yang tak paham terhadap apa yang terjadi ketika itu. oleh karena itu, kamu harus Percaya dan Mengerti!
Kian siang, kian ramai pesertanya; tak hanya merambah kawasan pondok, malah beranjak ke desa lain. Kambing Pak Lurah dituntun paksa dari kandangnya, disembelih, untuk pesta pora mereka. Sangat-sangat anarkhis. Astaghfirullaha al-‘azhim!
Sebagai anak kecil yang belum tahu apa-apa, penulis hanya menyaksikan: menyaksikan keributan yang mencekam, menyaksikan kebrutalan santri, menyaksikan ketegaran para kyai. Dengan nada wajah merah padam, muka marah, serta perasaan yang hancur, para kyai itu menyaksikan ulah para santrinya. Santri yang beliau didik dengan penuh kasih sayang bagai anak kandung, pada fajar itu dengan serta merta membenci, mengejek, mencemooh serta ingin mengusirnya dari pondok yang didirikannya, dan menggantikannya dengan oknum yang sepaham. Alasannya, “Karena telah diwakafkan, berarti, sekarang, Pondok ini milik ummat, bukan milik kyai. Maka, kyainya pun boleh diturunkan, diganti.” Gila, mereka benar-benar keblinger.
Hari berikutnya, setelah para tokoh pemberontak dan pengikutnya uzlah ke desa sebelah (dengan maksud menyusun strategi), Pak Zarkasyi mengumpulkan santri yang tersisa, yang tidak ikut atau hanya ikut-ikutan serta masih taat di Balai Pertemuan Pondok Modern. Apa yang Pak Zar lakukan? Mengajari mereka bahasa Arab.
Berbilang tahun kemudian pemahaman itu muncul, ketika penulis membaca-baca dokumentasi pondok di almari buku Bapak. “Peristiwa Sembilan belas Maret (Persemar) 1967,” begitu disebutnya kemudian. Luar biasa, begitu dahsyat peristiwa itu. Betapa terkutuknya para “dalang” dan pelaku peristiwa yang dengan sadar diri menghujat para kyai pendiri (Pendiri pondok lebih suka menggunakan kata “Ada kancil dan Durna-nya.” Dua sosok yang terkenal licik dalam cerita yang berbeda: fabel dan pewayangan.). Keikhlasan kyai benar-benar diuji. Bagaikan orang tua yang telah membesarkan anak hingga dewasa, tanpa pamrih, dibalas dengan kedurhakaan, dan ambisi dengan sejumlah pamrih. Puncaknya, mereka ingin menurunkan kyai dan menggantikan dengan kyai lain dari golongannya. Jika tidak mau diganti, kyai dan “anteknya” (begitu mereka mengatakan) akan dibunuh.
Saat itu, dari pihak ABRI (TNI sekarang) juga berupaya membantu pemulihan Gontor. Namun, dengan tegas, Pak Sahal dan Pak Zarkasyi menolak, dengan alasan, ini masalah intern pondok.
Benar saja, rupanya Allah masih menolong para kyai Gontor itu. Pak Sahal dan Pak Zar begitu tegar, berwibawa, gagah. Puncak kegagahan itu adalah keputusannya memulangkan semua santri sebanyak 1500-an orang lebih, tak tersisa. Sebelumnya, para santri yang masih percaya kepada kedua pendiri itu dikumpulkan di Balai Pertemuan Pondok Modern (BPPM). Tentu saja, nasehat tulus dan kesungguhan mendidik dikedepankan dalam pidato beliau. Terakhir, disampaikan bahwa pondok dinyatakan libur dalam waktu yang belum ditentukan. Semua santri diminta pulang ke kampung halaman masing-masing, dengan bekal cerita dan nasehat kyai. Mereka diminta menanti surat panggilan dari pondok; Surat panggilan dari Direktur KMI yang memberi kesempatan para santri kembali belajar di PM Gontor.
Yang tak kalah memprihatinkan, ada kyai pondok pesantren yang seide atau mendukung pemberontak itu, ikut bersorak, “Pondok Gontor bubar karena arogansi dan egoisme kyainya.” Demikian katanya. Astaghfirullaha al-‘azhiem.
Setelah suasana kondusif, datanglah bantuan dari TNI untuk ikut menjaga pondok. Sejumlah tentara itu diperbantukan selama beberapa hari. Mereka tinggal dan menjaga pondok serta para kyai. Sebenarnya, para kyai itu tidak memerlukan bantuan keamanan, sebab, sekali lagi, masalah yang tengah dihadapi adalah masalah intern. Dan, dengan otoritasnya, para kyai itu pun telah mampu menguasai keadaan. Namun, kecintaan dan rasa hormat yang begitu mendalam membuat kalangan pemerintah memberikan bantuan, sebagai rasa ikut prihatin.
Ketegangan mereda. Empat bulan kemudian, sekitar 400-an orang santri yang mendapat panggilan dan telah lolos screening kembali ke pondok. Pondok pun berjalan lagi dengan wajah baru, semangat baru, niat yang diperbaharui. Nampak binar rona Pak Sahal dan Pak Zar: pondok akan kembali berjalan. Itu berarti, ilmu beliau masih akan mengalirkan jariyah. Setiap ujian akan ada hikmahnya, asalkan sabar dan istiqamah masih menjadi pakaian.
Kemudian, sampai juga kabar tentang santri yang terlibat dan tidak dipanggil lagi oleh kyai. Banyak di antaranya menjadi gila, mati tertabrak mobil, dan tak sedikit yang sepanjang sisa hidupnya mengalami kesulitan, sakit tak kunjung sembuh, dan tak juga segera mati. Siapa menanam, mengetam; menabur angin, menuai badai. Itu barangkali pepatah yang tepat untuk menggambarkan kondisi mereka.
Dulu, sekitar 20 tahunan yang lalu, ketika Persemar selalu diperingati tak ubahnya upacara 17 Agustus, selalu dibacakan kronologi peristiwa, serta pidato kyai dan ungkapan perasaannya yang amat gulana. Tak lupa, doa-doa terpanjatkan kepada Allah bagi perjalanan Gontor ke depan. Doa itu terkabul.
Meskipun jelas-jelas dizhalimi, para pendiri itu tetap amat bijak dalan berkata-kata, “Dengan ikhlas, mereka itu telah kami maafkan. Tetapi, bagaimana mereka akan meminta maaf kepada pondok dan para santri yang terputus sekolahnya gara-gara peristiwa itu? Juga kepada ummat Islam seluruh dunia. Mereka benar-benar terkutuk.” Ditambahkan lagi, “Ilmunya tetap akan bermanfaat bagi masyarakat, tetapi tidak bagi dirinya yang terkutuk itu.” Begitulah ungkapan itu. Luar biasa.
Ditengarai, peristiwa itu berawal dari masalah kesejahteraan guru. Para guru yang merasa telah berjasa, menuntut perbaikan kesejahteraan, mulai soal makan, tempat tinggal, pakaian, dlsb. Mereka merasa pantas mendapatkan seperti itu. Sayangnya, dalam ambisinya itu dia tidak melihat bagaimana para kyai pendiri menjalani kehidupan. Padahal, tidak ada yang tidak bisa dilihat dan ditiru dari kehidupan kyai. Nilai-nilai Panca Jiwa: Keikhlasan, Kesederhnaan, Kemandirian, Ukhuwwah Islamiyah, dan Kebebasan yang diajarkan beliau benar-benar dapat dilihat dalam kehidupan keseharian beliau. Bahkan, tantangan beliau, “Jika anak-anakku melihat bahwa apa yang kami makan, kami pakai, dan kami tempati lebih enak daripada yang anak-anakku rasakan, silakan protes!” ini bukan isapan jempol.
Sebagai anak salah satu pendiri, kami benar-benar merasakan kehidupan yang amat sederhana (bukan kemiskinan): tidak ada lauk mewah, minuman manis; tidak ada baju bagus, kecuali baju baru dengan bahan kain yang sangat sederhana dan murah, saat lebaran tiba; tidak ada tempat tidur empuk. Jika semua anak Bapak ada di rumah ―semua 10 orang: 6 laki-laki, 5 perempuan; menempati sebuah kamar tidur dengan 2 ranjang agak besar― kami pun tidur berhimpitan, dan makan menjadi lebih sederhana lagi. Mandi dan mencuci baju dengan sabun yang sama: sabun cuci; menyikat gigi tanpa pasta gigi. Selembar handuk digunting untuk berdua, dsb. Tanpa keluhan, rasa minder, apalagi iri dengan kehidupan yang lebih enak. Apanya yang enak; apa yang mau diprotes?
Jadi, tuntutan kesejahteraan oleh para pemberontak itu hanya alasan saja. Matanya sudah tertutup oleh ambisi sesaat dan sesat.
Aktor intelektual di balik peristiwa itu adalah guru. Dia guru yang baru saja menyelesaikan sarjana mudanya (BA) di Institut Pendidikan Darussalam (IPD). Kemampuan orasi serta keilmuannya memang cukup bagus (bahkan hingga sekarang), namun hatinya telah dikotori oleh ambisi syetan. Setelah dididik dan merasa pandai, justru ingin menurunkan kyainya. Belakangan, ketika para pendiri itu telah wafat, tokoh ini datang ta’ziyah, sehari setelah K.H. Imam Zarkasyi dikuburkan. Di makam itu, dia berkata-kata sendiri seperti orang gila, “Pak Zar, maafkan saya, Pak Zar! Bukan saya yang melakukan. Saya hanya ikut-ikutan.” Ah, betapa bohongnya dia.
Cukup lama Persemar tidak lagi diperingati di PM Gontor. Hingga, pada 19 Maret 2008, seorang alumni, saksi mata namun bukan pengikut Persemar melayangkan pesan singkat kepada penulis. Beliau ingin mengenang peristiwa itu, sambil mendoakan pondok, pimpinannya, dan para ansharnya. Penulis terharu, dan segera membuat peringatan sederhana dengan mengirim pesan hampir serupa kepada sejumlah guru dan pimpinan Pondok. Penulis ingatkan, bahwa telah 20 tahunan kita tidak lagi memperingati Persemar. Dikhawatirkan, generasi sekarang terputus mata rantai, buta sejarah. Balasan menggembirakan pun disampaikan oleh K.H. Hasan Abdullah Sahal, “Saya setuju.” Maksudnya, setuju jika pada tahun-tahun mendatang Persemar kembali diperingati. Alhamdulillah, tahun ini, 19 Maret 2013, kembali diadakan Peringatan Persemar. Seluruh guru dan santri berkumpul di Aula, mendengarkan rincian kisah dan bukti ketegaran Pak Sahal dan Pak Zar. Secara bergantian, guru-guru yang pernah menjadi saksi hidup membacakan kronologi dan sambutan Pimpinan Pondok. Anank-anak tenang tertegun, khidmat mendengarkan semua paparan itu.
Semoga, di tahun-tahun mendatang, peringatan serupa tetap diadakan, untuk mengenang sejarah. Jika tidak, orang akan lupa sejarah. Yang salah dan perlu dikhawatirkan, ada yang tidak mau memperingati, karena sejarah itu bukan bagian dari kehidupannya, meskipun amat lekat dengan komunitasnya. Maka, sejarah pun bukan lagi dianggap tonggak, melainkan hanya milik orang yang terlibat. Moga tidak demikian.
Karena Persemar, pendiri pondok juga selalu mengatakan, “Jangan sampai kehilangan tongkat untuk kedua kali.” Bagi Gontor, Hal itu bukan untuk pendiri melainkan untuk pondok secara keseluruhan. Artinya, jika kelak, na‘udzubillah, terjadi peristiwa serupa, dapat disetarakan dengan menjadi, “keledai yang terperosok lubang untuk kedua kali;” bukan sekedar kehilangan tongkat untuk kedua kalinya. Moga ini bisa dipahami.
Sebagai kenangan pribadi, penulis pun ingin mengabadikan peristiwa itu dengan tulisan ini. Moga bermanfaat bagi para pembaca, khususnya para alumni, juga wali santri. Yang menarik, dari Persemar, banyak muncul kata-kata hikmah sebagai peringatan kepada para generasi penerus.