Di Mesir, perayaan Maulid Rasul dirayakan secara meriah penuh suka cita. Di negeri para Nabi sekaligus negerinya gudang ilmu serta ulama ini, Maulidur Rasul menjadi bagian perayaan yang lebih ramai dari sekedar Hari Raya Ied Fitri maupun Ied Adha.
Sudah menjadi tradisi orang-orang Mesir, jika menjelang datangnya bulan Ramadhan ditandai dengan banyaknya pedagang yang menjual Fanus; lampu-lampu lampion khas bulan Ramadhan. Maka, Menjelang tibanya bulan Rabiul Awal akan ditandai dengan banyak pedagang yang menjual Halawiyat; kue dan cemilan berwarna-warni yang rasanya sangat manis.
Pada bulan Rabi’ul Awal yang merupakan bulan kelahiran Sayyidil Musthafa Rasululillah shallallahu alaihi wassalam, masyarakat muslim Mesir di berbagai penjuru daerah akan menghiasi masjid-masjid dan jalan-jalan dengan hiasan umbul-umbul berwarna-warni, hingga nuansa bulan Maulid Nabi jauh lebih terasa meriah dan bernuansa cinta.
Orang Mesir menyadari bahwa diutusnya Rasulullah Saw bukan sekedar membawa risalah agama Islam yang menunjukkan cahaya kebenaran, namun lebih dari itu, kehadiran baginda Rasulullah Saw merupakan sumber rahmat, cinta dan kasih sayang antar sesama.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
“Tiadalah engkau diutus wahai Muhammad, melainkan membawa rahmat cinta bagi seluruh alam semesta.”
Memperingati Maulid Rasul tidak lah sama sekali bertentangan dengan nash syariat Islam. Telah banyak para ulama yang menjelaskan tentang hukumnya. Diantaranya, al-Imam Jalaluddim as-Suyuthi di dalam kitabnya, “Husnul Maqashid fi Amal Maulid” dan kitab “An-Ni’matul Kubra fi Maulid Sayyidil Anam” karya Imam Ibn Hajar al-Haitsami.
Sebab, baginda Rasulullah Saw pernah ditanya tentang puasa sunnah hari Senin. Nabi Saw menjawab:
يوم ولدت فيه
“Pada hari itu aku dilahirkan.” [HR. Muslim dan Baihaqi].
Jadi, Rasulullah Saw memperingati hari Maulid beliau dengan cara berpuasa hari Senin.
Di dalam “Ihtifal” atau perayaan Maulid Rasul Saw di sana terdapat pembacaan al-Qur’an, lantunan shalawat-shalawat, tadzkirah kisah-kisah sirah Nabawiyyah, doa serta sedekah menjamu makanan para tamu; yang kesemuanya itu tentunya semua tidaklah ada bertentangan dengan nash Syar’i.
Bahkan, ada landasan dasar perintah di dalam al-Qur’an. Di dalam surah Yunus ayat 58, Allah Swt memerintahkan:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah wahai Muhammad, atas karunia Allah dan rahmat-Nya, maka bersuka citalah. Karunia dan rahmat Allah itu sebaik-baiknya dari apa yang mereka kumpulkan.
“Para ulama tafsir menafsirkan bahwa karunia dan rahmat Allah Swt yang paling utama dan paling besar adalah diutusnya baginda Rasulullah Saw ke muka bumi ini. Maka, bersuka cita dan bergembira dengan anugerah terbesar itu bukti bahwa kita umat yang bersyukur. Tentu, rasa syukur dan kegembiraan itu diwujudkan dalam bentuk menambah kecintaan kepada Allah dan Rasulullah Saw. Itulah jalan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Perayaan itulah yang menjadi dasar apa yang dilakukan oleh orang-orang Mesir dan sebagian besar kaum muslimin di seluru penjuru dunia. Bulan Rabiul Awal adalah sebuah momentum untuk lebih mengenal pribadi dan akhlak baginda Rasulullah Saw.