Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA). Yohana Yembise, menjelaskan mas kawin bisa menjadi alat untuk eksploitasi perempuan. Hal itu menjadi pertanda bahwa dengan diberikannya mas kawin, maka seseorang telah membeli si anak perempuan melalui orang tuanya.
“Ketika ‘mas kawin’ telah lunas dibayarkan, artinya si perempuaan dianggap telah dibeli, dan tak punya “kebebasan” untuk berbicara,” ujarnya, dalam cuitan twitter. Menurutnya, hal ini adalah bentuk eksploitasi hak-hak perempuan untuk sejajar dengan pria dalam hal-hal tertentu, seperti pendidikan, karir politik, dan lainnya.
Seorang perempuan di Papua, menurutnya sulit keluar dominasi seorang pria, karena selalu di nomorduakan. “Apalagi setelah membayar mas kawin,” imbuhnya. Mas kawin di kalangan suku-suku Papua bisa mencapai puluhan juta bahkan ratusan juta dalam bentul uang. Ditambah hewan piaran yang jumlahnya cukup banyak.
“Saya lihat persoalan di Papua masih terikat dengan adat istiadat, kultur, dan budaya, yang memposisikan perempuan dan anak di posis lemah,” imbuhnya. Misalkan, anak pertama di mayoritas suku-suku di Papua, diwajibkan bekerja untuk membantu sang ayah menghidupi keluarga, dan mencari nafkah.
Pendidikan selalu di nomor duakan, sehingga kesempatan anak untuk belajar, dan menggapai dunianya terbatas, dan dibatasi oleh budaya. Mengatasi persoalan ini, pihaknya akan berupaya semampunya. [Sumber: Republika]