Di kalangan cendikiawan Muslim nama Dr Murad Hoffmann bukan nama yang asing lagi. Mantan dubes Jerman yang pernah bertugas di Al-Jazair dan Maroko ini bukan hanya terkenal karena ia adalah seorang mualaf tapi juga karena buah pikirannya tentang Islam yang dituangkan dalam buku-buku yang sudah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Diantara buku-bukunya yang terkenal adalah “Diary of A German Muslim” dan “Journey to Islam” yang menceritakan bagaimana Hoffmann yang berasal dari keluarga Katolik memutuskan untuk menjadi seorang Muslim.
Meski demikian tak banyak yang mengetahui apa sebenarnya pengalaman batin yang dialaminya, yang mendasari keputusan besarnya untuk pindah agama dari seorang Katolik menjadi seorang Muslim. Menurut Doktor Murad, ada tiga hal yang menjadi faktor penentu atas keputusannya menjadi seorang Muslim.
Pertama, ketika ia menjadi dubes di Al-Jazair pada tahun 1962. Saat itu Al-Jazair sedang memperjuangkan kemerdekaannya dari Prancis. Prancis membuat kesepakatan dengan kelompok pejuang, jika mereka bersedia melakukan gencatan senjata maka Prancis akan menyerahkan kedaulatan Al-Jazair ke tangan mereka. Tapi orang-orang Prancis yang tinggal di Al-Jazair selalu melakukan provokasi agar para pejuang melakukan perlawanan sehingga Prancis bisa mencari alasan untuk menyalahkan kelompok pejuang kemerdekaan Al-Jazair.
Keteguhan para pejuang untuk tidak terpancing oleh provokasi membuat Doktor Murad kagum. “Saya sangat kagum dengan tingkat kedisiplinan mereka, yang membuat saya tertarik membaca Al-Quran untuk mencari tahu apa yang telah memberikan kekuatan yang begitu besar pada pejuang-pejuang Al-Jazair itu,” ujar Murad.
“Saya berpikir, saya sudah pindah agama meski belum secara resmi. Dan saat itulah saya berpikir untuk meninggalkan semua ideologi Kristen,” sambungnya.
Faktor yang kedua adalah seni Islami. Murad mengungkapkan, selain diplomat ia juga seorang kritikus tari ballet dan untuk itu ia sering berpergian, hampir 50 kali dalam satu tahun terutama ke AS untuk menyaksikan pertunjukan ballet dan mengkritisi pertunjukan-pertunjukan itu. “Sebagai seorang kritikus, saya harus punya standar-standar tertentu. Tapi semua standar itu tak berarti sama sekali buat saya ketika saya melihat produk seni Islam. Saya pertamakali menyaksikan hasil karaya seni Islam di kota-kota Spanyol seperti Granada, Cordoba, Seville dan Andalusia,” papar Murad.
“Karya seni Islam menyentuh saya dengan cara yang tidak pernah saya rasakan terjadap karya seni lainnya,” sambung Murad.
Dan hal ketiga yang menjadi faktor penentu keputusannya memeluk Islam adalah setelah ia mengetahui bahwa semua filsuf-filsuf terbesar dan termashyur di dunia, semuanya adalah Muslim. “Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Al-Ghazali dan Ibnu Rush adalah beberapa diantaranya. Saya merasa kesal dengan diri saya sendiri, mengapa saya tidak mengetahui hal itu sebelumnya,” tutur Murad.
Beberapa filsuf terkenal, sambung Murad, pemikiran-pemikirannya sangat dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Khaldun yang menjadi pelopor ilmu sosiologi dan sejarawan pertama. “Satu orang penua dua bidang ilmu pengetahuan. Tetapi sosok Ibnu Khaldun tidak dikenal oleh masyakarat di Eropa sampai abad ke-20 meskipun sejumlah ilmuwan Eropa sudah mengenal sosok cendikiawan Muslim itu sejak abad ke-19,” tukasnya.
Pada tahun 1980, Departemen Luar Negeri Jerman memberikan “pembekalan” berupa pengetahuan tentang Islam pada calon-calon dubesnya yang akan ditugaskan ke negara-negara Muslim. Kebetulan momen itu bertepatan dengan hari ulang tahun putera Murad. “Saya pun bilang pada anak saya bahwa saya akan memberikan sesuatu namun bukan yang berhubungan dengan uang tapi berhubungan nilai-nilai yang luhur,” ungkap Murad.
“Saya pun mulai menulis semua hal yang menurut saya penting tentang apa yang saya temukan dalam Islam. Semuanya tertulis dalam 14 halaman,” sambungnya.
Murad lalu menunjukkan tulisannya pada Imam Muslim asal Dusseldorf yang memberikan pelatihan pada para diplomat Jerman itu. Keesokan harinya, imam tadi bertanya apakah Murad meyakini apa yang telah ditulisnya dan Murad menjawab “ya”.
“Jika kamu yakin, maka kamu adalah seorang Muslim,” kata Murad menirukan ucapan imam Muslim yang membaca tulisannya.
Murad kemudian mempublikasikan tulisannya itu dan disebarluaskan di pelosok Jerman. Ia secara resmi mengucapkan dua kalimat syahadat di Islamic Center Colonia pada bulan September 1980. Ia memberitahukan pada kementerian luar negeri Jerman tentang keislamannya dan menolak ditugaskan ke Israel atau Vatikan.
Sejak itu Murad rajin menulis buku-buku Islami. Buku pertamanya, “Diary of a German Muslim’” sudah dialihbahasakan ke berbagai bahasa di seluruh dunia. Sepanjang hidupnya sebagai Muslim, Murad yang beristerikan seorang Muslimah asal Turki sudah dua kali menunaikan ibadah haji dan lima kali berumrah.
Sekarang, Murad sudah berusia 78 tahun dan faktor usia membuatnya membatasi sejumlah aktivitas dan perjalanan ke luar negeri. Sedikitnya ada 13 buku yang ditulis Murad dan 250 artikel tinjauan buku yang ditulisnya untuk berbagai organisasi antara lain untuk lembaga studi Islam di Islamabad, American Journal of Islamic Social Science Studies di Virginia dan Muslim World Book Review di Inggris. (ln/readislam)