Ketika Khalid bin Walid ra diberhentikan oleh Khalifah Umar ra dari jabatan panglima perang, Khalid tidak membelot dan melawan Amirul Mukminin Umar bin Khatab ra. Padahal kalau ia mau, ia bisa memobilisir para prajurit yang masih setia kepadanya untuk melawan pemerintahan Umar ra.
Khalid, si pedang Allah, tetap berperang sampai akhir hayatnya, walau hanya sebagai prajurit biasa. Suatu ketika ia ditanya mengapa tetap berperang walau sudah diberhentikan sebagai panglima perang, beliau menjawab dengan tegas, “Aku berperang bukan karena Umar, tapi karena Allah!”.
Kisah lainnya terjadi pada diri Wahsyi yang pernah membunuh paman Nabi, Hamzah bin Abdul Muthalib ra. Wahsyi akhirnya masuk Islam dan meminta maaf kepada Nabi saw atas perbuatannya yang pernah membunuh Hamzah ra. Nabi memaafkan Wahsyi, namun beliau berkata, “Jangan perlihatkan wajahmu lagi di hadapanku setelah ini karena setiap melihatmu terbayang wajah Hamzah bin Abdul Muthallib yang rusak dihancurkan olehmu saat itu”
Wahsyi merasa kecewa di dalam hatinya, namun ia tidak membelot dan melawan Nabi saw. Wahsyi sadar akan kedudukannya, ridha menerima ketentuan itu. Dia memperbaiki dirinya dan meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah swt.
Sebagai penebus atas dosa-dosanya Wahsyi bertekad untuk tidak akan pulang lagi ke Kota Mekah demi untuk merebut cinta kekasih Allah, Muhammad saw. Wahsyi benar-benar ingin menebus kesalahannya dengan menyebarkan Islam. Niat Wahsyi itu telah dibuktikannya dengan menjelajah ke seluruh pelosok dunia untuk berdakwah mengajak sebanyak-banyaknya manusia memeluk kepada Islam, hingga akhirnya beliau wafat di luar Jazirah Arab.
Begitulah sikap para sahabat jika mereka diberhentikan atau tak mendapatkan kedudukan penting dalam jama’ah kaum muslimin. Mereka tetap taat dan ikhlas beramal, tidak keluar dari kebersamaan dengan membentuk jama’ah baru, walau sadar tidak lagi memiliki peran yang signifikan dalam jama’ah.
Sikap semacam inilah yang perlu ditiru oleh para aktivis dakwah saat ini jika mereka diberhentikan atau tak lagi memiliki jabatan penting dalam jama’ah.
Ada yang berdalih, kisah di atas hanya berlaku untuk jama’ah kaum muslimin, bukan untuk jama’ah minal muslimin. Loh…jika itu argumennya lalu dari mana kita belajar berjama’ah? Bukankah generasi sahabat ra adalah teladan dalam segala kebaikan, termasuk dalam berjama’ah? Lalu dari mana kita mengambil dalil untuk berjama’ah di masa sekarang jika tidak dari generasi terbaik (generasi sahabat)?
Mereka yang tidak istiqomah dalam kebersamaan di jalan dakwah telah tersingkap motifnya seperti yang dijelaskan Allah dalam surah al Kahfi ayat 28, yaitu karena menghendaki dunia.
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) MENGHARAPKAN PERHIASAN DUNIA ini; dan JANGANLAH kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”
Mereka dapat mengemukakan 1001 alasan untuk menjelaskan kenapa keluar dari kebersamaan berjama’ah, tapi Allah Maha Tahu niat mereka sebenarnya, yakni cinta dunia.
Sungguh tak elok jika kita sudah diberi hidayah oleh Allah untuk bersama jama’ah dakwah kemudian keluar dan menyempal. Lalu bagaimana nanti kita mengenang perjalanan dakwah selama di dunia jika ada catatan menyempal?
Ketahuilah wahai saudaraku….perjalanan dakwah bukan hanya tentang masalah menang atau kalah, tapi juga sejauh mana konsistensi kita dengan memori perjalanan dakwah waktu dulu kita diberi hidayah untuk berjama’ah, yang tidak semua orang memperolehnya.
Memori di jalan dakwah itu tak bisa dilupakan dan diputus begitu saja. Memutus masa lalu, apalagi masa lalu di jalan dakwah, merupakan kesalahan yang besar. Beda jika dari awal memang tak ada memori kebersamaan di masa lalu.
Maka bertahannya kita di dalam jamaah, bukan hanya karena tentang komitmen saja, tapi juga demi MENJAGA MEMORI INDAH di jalan dakwah yang akan kita perbincangkan kelak di surga… insya Allah.
“Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (QS. al-Hijr: 47)
Sungguh…menyempal dari jama’ah bukanlah solusi yang bijak, malah menimbulkan masalah baru dan mengusik pertanyaan baru : Begitu rapuhkah janji kebersamaan yang selama ini telah membesarkan kita?
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya)” (Surat Al-Ahzab, Ayat 23).