Hari itu, dengan menumpang delman, seorang ibu dengan tiga putra kecilnya menembus hutan belantara Ponorogo, Jawa Timur. Mereka tengah memenuhi panggilan seorang bangsawan di Kadipaten Ponorogo. Sepanjang perjalanan, sang ibu tak berhenti bertanya-tanya; untuk apa kiranya mereka dipanggil?
Sampai di kediaman sang bangsawan yang tak lain adalah kakak ipar sang ibu, ketiga bocah tersebut dipanggil masuk ke dalam sebuah kamar dan diminta membaca ayat-ayat Alquran. Beberapa saat kemudian, bangsawan itu keluar. Ia berpesan pada adik iparnya untuk mendidik ketiga putranya sebaik mungkin, untuk menyelamatkan pesantren yang pernah didirikan leluhurnya.
Mandat itu berubah menjadi sebuah beban di dada sang ibu, yang dibawanya pulang bersama ketiga putra kecilnya. Sang ibu adalah Nyai Sudarmi Santoso, istri pimpinan sebuah pesantren di Jawa Timur. Sang Kiai, Santoso Anom Besari, wafat pada usia yang masih muda. Ketiga bocah kecil tadi adalah tiga putra terkecilnya. Seorang diantaranya bernama Imam Zarkasyi, kini dikenal sebagai salah satu pendiri Pondok Modern Gontor.
***
Imam Zarkasyi dilahirkan pada 21 Maret 1910 di sebuah desa bernama Gontor, Ponorogo. Kala itu, ia dibawa ibunya ke kadipaten (kabupaten) Ponorogo bersama dua kakak laki-lakinya, Ahmad Sahal (1901-1977) dan Zainuddin Fananie (1908-1967). Zarkasyi adalah bungsu dari tujuh bersaudara. Empat kakak tertuanya terdiri dari satu orang kakak laki-laki (anak pertama) dan tiga orang kakak perempuan.
Ayah Zarkasyi, Kiai Santoso, adalah pimpinan generasi ketiga sebuah pesantren yang kini disebut Gontor Lama. Setelah sang ayah meninggal, pesantren itu vakum. Karena itu, Zarkasyi bersama kedua kakak laki-lakinya sejak kecil diwanti-wanti sang paman untuk bisa meneruskan kehidupan pesantren yang mati suri sejak kematian ayahnya.
Tahun 1920, hanya dua tahun setelah kematian Kiai Santoso, ibunda Zarkasyi meninggal. Sepeninggalnya, ketujuh putra-putrinya bermusyawarah. Dalam musyawarah tersebut, Zarkasyi dan kedua kakaknya mengusulkan agar harta peninggalan kedua orang tua mereka tidak diusik hingga sepuluh tahun ke depan. Hal itu, menurut mereka, adalah demi masa depan pendidikan mereka demi melanjutkan cita-cita leluhur mereka menghidupkan pendidikan Islam melalui pesantren.
Usul disepakati. Dan sejak itu tanah peninggalan orang tua mereka dikelola oleh saudara laki-laki tertua, Rahmat Soekarto. Hasilnya digunakan untuk membiayai studi Zarkasyi dan kedua kakaknya.
Zarkasyi menempuh pendidikan dasar di Sekolah Ongko Loro Jetis, Ponorogo, sambil nyantri di Pondok Josari dan Joresan Ponorogo. Lulus dari Sekolah Ongko Loro (1925), sesuai pesan ibunya, ia memperdalam ilmu agama di Pesantren Jamsaren Solo, kali ini sambil menyelami pendidikan di Sekolah Mamba’ul ‘Ulum di kota yang sama.
Kemudian ia melanjutkan ke Sekolah Arabiyah Adabiyah, masih di Solo. Di sekolah pimpinan M.O. Al-Hasyimy itu, ia memperdalam kemampuan bahasa Arabnya sampai tahun 1930. Di antara guru yang banyak mendidik, membimbing, dan mendorong Zarkasyi selama belajar di Solo adalah Ustad Hasyimy, seorang bekas pejuang Tunisia.
Tak lama setelah menyelesaikan pendidikannya di Solo, Zarkasyi melanjutkan ke Kweekschool (sekolah guru) di Padang Panjang, Sumatera Barat, sampai 1935. Sekitar tahun 1935. Zarkasyi menyelesaikan studinya di Padang Panjang.
Ia lalu dipercaya gurunya, Mahmud Yunus, untuk menjadi guru dan direktur di perguruan tersebut selama satu tahun. Ia kemudian pulang ke Ponorogo dan pada 19 Desember 1936 (5 Syawal 1355) mendirikan Kuliyyatul Muallimin al-Islamiyyah (KMI), yang berarti “Persemaian Guru-guru Islam.”
KMI merupakan sekolah tingkat menengah dengan masa belajar enam tahun. Di situ, Zarkasyi bertindak sebagai direkturnya. Ia menyusun sebuah konsep pembelajaran modern dengan sistem pesantren. Salah satu yang ia tekankan dalam konsep itu adalah soal penguasaan bahasa Arab dan Inggris.
Embrio Pondok Modern Gontor sendiri telah berdiri sepuluh tahun sebelumnya keitka Abdullah Sahal, kakak Zarkasyi, merintis Tarbiyatul Athfal (TA) pada 20 September 1926 (12 Rabi’ul Awal 1345). Saat itu Zarkasyi masih menempuh pendidikan menengahnya di Solo.
Tak hanya sebagai direktur KMI, Zarkasyi juga menunjukkan kiprahnya dalam bidang pendidikan di berbagai institusi. Setelah menjadi kepala kantor agama Karesidenan Madiun pada 1943, ia diangkat menjadi Seksi Pendidikan Kementerian Agama pada 1946. Lalu, sejak 1948 hingga 1955, Zarkasyi menjadi ketua pengurus besar Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII), dan menjadi penasehat tetap di sana setelah periode tersebut.
Di Kementerian Agama, Zarkasyi menjadi kepala Bagian Perencanaan Agama Sekolah Dasar (pada 1951-1953) dan kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama (1953). Sedangkan di Kementerian Pendidikan ia menjadi anggota Badan Perencanaan Peraturan Pokok Pendidikan Swasta (1957).
Ia juga pernah menjadi anggota Komite Penelitian Pendidikan. Dan pada tahun 1959, Zarkasyi diangkat Presiden Sukarno menjadi anggota Dewan Perancang Nasional (Deppernas).
Di kancah internasional, Zarkasyi pernah menjadi anggota delegasi Indonesia dalam peninjauan ke negara-negara Uni Soviet (1962), serta menjadi wakil Indonesia dalam Mu’tamar Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah (Muktamar Akademi Islam se-Dunia) ke-7 di Kairo (1972). Selain itu, ia dipercaya menjadi ketua Majelis Peritmbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) hingga ia wafat, dan juga anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Selain dikenal sebagai aktivis di bidang pendidikan, sosial, dan politik kenegaraan, Zarkasyi adalah seorang ulama yang aktif menulis. Karena itu, ia banyak meninggalkan karya tulis. Hal itu sesuai dengan sebuah prinsip sekaligus cita-cita yang disampaikannya pada awal dibukanya KMI pada 1936. Saat itu ia berkata,
“Seandainya saya tidak berhasil mengajar dengan cara ini (pengajaran tatap muka), saya akan mengajar dengan pena.”
Pengajaran, bagi Zarkasyi, harus berkesinambungan dengan pendidikan. Ia memaknai keduanya secara berbeda. Pendidikan yang dimaksudnya adalah pendidikan mental kejiwaan dan akhlaqul karimah. Sedangkan pengajaran adalah pengembangan intelektualitas yang dicapai melalui pengajaran ilmu pengetahuan. Ia dengan tegas mendahulukan pendidikan daripada pengajaran.
Imam Zarkasyi wafat pada pukul sembilan malam tanggal 30 April 1985, meninggalkan seorang istri, 11 orang putra-putri, dan sejumlah karya tulis. Di antara karya-karya peninggalannya adalah Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam, Pedoman Pendidikan Modern, dan Kursus Bahasa Islam. Ketiganya ia tulis bersama kakaknya, Zainuddin Fananie.
Buku-buku yang dtulisnya sendiri antara lain Ushuluddin (Pelajaran ‘Aqaid/Keimanan), Pelajaran Fiqh, Pelajaran Tajwid, Bimbingan Keimanan, Pelajaran Huruf Alquran, dan Qowa’idul Imla’ (Kaidah Penulisan Arab). Hingga hari ini, hampir seluruh bukunya masih digunakan di Pondok Modern Gontor. Karya-karya itu terus menjadi ‘pengajar’ setelah sosok Zarkasyi meninggalkan warisan berharga berupa kemajuan pendidikan Islam yang pesat.
Wakafkan Diri pada Pendidikan
“Andaikata muridku tinggal satu, akan tetap kuajar, yang satu ini sama dengan seribu, kalaupun yang satu ini pun tidak ada, aku akan mengajar dunia dengan pena.”
Ungkapan tersebut mewakili cita-cita besar Imam Zarkasyi dalam mencetak generasi yang berguna, serta betapa ia mencintai profesi guru. Hidupnya secara penuh didedikasikan untuk menjadi pendidik dan pengajar. Demi pendidikan, pesantren yang kala itu telah memliki ratusan santri ia wakafkan kepada umat Islam pada 12 Oktober 1958 (28 Rabi’ul Awal 1378).
Keikhlasan Zarkasyi melepas harta bendanya untuk kepentingan Islam membuatnya dikenal sebagai ulama yang sederhana dan bersahaja. Inisiatifnya itu menjadi teladan dan membuat nilai kesederhanaan dan kejujuran tertanam kuat di lingkungan pesantren Gontor.
Dalam Biografi KH Imam Zarkasyi di Mata Umat (1996) disebutkan, sebagai seorang pendidik, Zarkasyi memiliki wawasan yang jauh ke depan namun tetap istiqomah. Modernisasi pendidikan Islam ia lancarkan dalam hal metode dan kurikulum tanpa mengorbankan nilai dasarnya. Ia mempertahankan jiwa ikhlas yang telah menjadi salah satu nilai mutlak dalam institusi pendidikan Islam yang didirikannya itu.
Di Indonesia, terutama di kalangan pendidik, Zarkasyi dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan sistem pendidikan Islam. Tiap kali disodori pertanyaan mengenai sistem pendidikan yang tepat bagi putra-putri Islam Indonesia, ia secara lugas menjawab “sistem pendidikan pondok.” Sang kiai berpendapat sistem pendidikan tersebut mampu menanamkan kemandirian, kedisiplinan, persaudaraan, keikhlasan dalam menuntut ilmu, serta ketaatan pada pemimpin.
Zarkasyi hanya tertarik pada pendidikan. Ia ‘mewakafkan’ jiwa raganya sebagai pendidik. Karena itu, meski kiprahnya di bidang pendidikan mencapai level nasional, ia tak melirik dunia politik. Tentang dunia yang satu itu, kiai yang akrab disapa Pak Zar itu sering mengatakan, “Politik saya adalah pendidikan.”
Pilihan itu dinilainya sebagai kontribusi bagi dunia politik yang sesungguhnya. Bagi Zarkasyi, yang lebih penting adalah bagaimana membina mereka yang akan menjadi pejabat negara sehingga mereka siap menjadi pewarna negara. Ia mantap pada pendirian bahwa semua bersumber pada pendidikan sebagai mediatornya. Pendidikan lebih penting dalam hidup berpolitik dan bernegara.
Karena itu, Zarkasyi kerap mengatakan bahwa orang-orang besar adalah mereka yang mau mengajar dan mengamalkan ilmunya di tempat-tempat terpencil dengan kondisi yang serba terbatas, misalnya dengan ketiadaan listrik. Zarkasyi memaknai pendidikan sebagai ladang jihad yang sesungguhnya.
“Kalau engkau ingin mengetahui sesuatu, ajarkanlah sesuatu itu kepada orang lain,” demikian bunyi salah satu pesan Zarkasyi pada santri-santrinya. Wejangan itu mewakili spirit pengabdiannya yang teramat tinggi di bidang pendidikan. Tak heran, hingga kini kata-katanya itu dapat ditemukan di berbagai sudut pondok modern yang terus berkembang dengan puluhan ribu santri itu. [ROL]