Kami punya pengalaman mendampingi Pak Syukri (sebutan KH. Dr. (HC) Abdullah Syukri Zarkasyi, MA.) ketika bertemu menteri urusan wakaf di Republik Arab Suriah (menteri wakaf, jika di Indonesia semisal menteri Agama), bahkan terngiang beliau menggerakkan jari telunjuknya ke arah kami dengan mata yang tajam sambil berbisik “Cepat!”, Mengisyaratkan meskipun dengan menteri harus cepat gerakknya, dan acara makan siang kala itu harus tepat waktu, kamipun bergegas mengamankan agenda bersama Mas Anizar senior kami, yang saat ini menjadi Pimpinan Pondok Modern Tazakka yang tersohor di negeri ini, pengalaman indah menunjukkan ketajaman spiritual Pak Syukri dan integritas yang tinggi. Subhanallah.
Lain cerita dengan calon cucu mantu Kiai Imam Zarkasyi ini, sebelum diambil mantu, Pak Syukri sempat memindah bagian tugas Sang Calon dari ISID ke dalam pondok, dari bagian sibuk ke bagian yang longgar, pasalnya setelah dipindah tidak diberi tugas apapun, yang menarik bukan main menurut penulis, “dianggurkan” itu bukan satu-dua hari, tapi setahun, tidak diberi tugas, tidak disapa, dan tidak diajak bicara, tidak hanya beliau yang gusar, banyak guru senior pada waktu itu yang datang ke Pak Syukri menanyakan akan diberi tugas apa guru produktif asal Jombang itu, mengingat mubadzir jika tidak dikasih tugas, namun tak disangka jawab Pak Syukri, “Ben, Entegno!” (biarkan saja, hingga batas akhir).
Tentu kondisi yang tidak mudah, sang Calonpun sangat sulit menjalaninya, bingung mabuk kepayang, hingga setelah 1 tahun selesai, Pak Syukri memanggilnya “Kamu sengaja, saya anggurkan (diamkan), biasanya sibuk, dan setahun ini tidak saya kasih tugas, karena saya ingin tahu, seberapa jauh inisiatifmu mengambil tugas, tanpa perintah “ngopeni” pondok ini.”
Walhasil sang Calon ini berhasil melaluinya dengan baik, karena di tahun itu, dia mencoba mencari kesibukan dengan membantu berbagi sektor yang membutuhkan. Setelah lulus dari ujian itu, berkali-kali beliau mengajukan jodoh dan ijin untuk menikah, tapi sayang semua calonnya ditolak oleh Pak Syukri, tanpa alasan.
Hingga suatu hari Pak Imam Subakir juga membantunya melobi Pak Syukri agar calon istri yang diajukan diterima, jawaban Pak Syukri saat itu hanya satu kata “Ojo!” (Jangan), dan beliau bergegas masuk ruangan.
Semuanya dibongkar Pak Syukri saat melamarkan muridnya yang lulus ujian itu, dengan keponakannya, cucu dari Kiai Imam Zarkasyi, di dalam sambutannya “Sudah saya bilang ke murid saya ini, ketika beberapa kali mengajukan calon istrinya, semuanya saya tolak, karena saya ingin dia menikahi Dzuriyyah Bani Zarkasyi, Ben tak pek Dewe, Iyo To?! (biar saya miliki sendiri, bener kan?).
Pak Syukri langsung yang mewakili keluarga santri tersebut meminang keponakannya putri dari Bu Nyai Faridah Zarkasyi waktu itu, sebagai apresiasi kepada santri yang manut tersebut.
Maka ini senada yang kami terapkan di pesantren kami, Amanatussalam, selain kesamaan kurikulum dan bersiap menyambut calon santri yang akan lanjutkan studinya ke Gontor, ketaatan santri kepada guru dan Kiai adalah mutlak dijadikan sebagai serat ilmu yang terangkum dalam kurikulum di dalam pesantren kami, sebelum para santri belajar ilmu, selama 40 hari pertama santri diajarkan lalu dibiasakan adab sopan santun (Ngandap Ashor), setelah dinilai cakap Budi Pekerti, selanjutnya baru diajarkan berbagai disiplin ilmu seperti di Gontor.
Setelah keduanya berjalan seirama, kuat dalam penerapannya dan pembiasaan, santri di pesantren kami juga dilatih mujahadah, tirakat, meski masih dalam sekala kecil, dengan berdzikir hingga terbit matahari, puasa Sunnah hingga pembiasaan qiyamullail dan salat Dhuha setiap harinya. Teriring harapan kelak mereka tidak hanya alim secara keilmuan saja, tapi juga matang secara spiritual. Amin.
Sebagai penutup, dijadikan menantu Kiai itu bonus, yang esensial lagi adalah, bisa memahami hidden curriculum, dan serat nilai guru dan pesantren kita adalah kebahagiaan yang tiada tara, tidak hanya melihat ilmu pada title akademis dan dasi saja, tapi cahaya itu masuk ke relung hati, hingga terbangun kebijaksanaan dan terpancar cerahnya masa depan yang lebih berkah menuju kebahagiaan abadi dunia hingga akhirat nanti adalah substansi dari tujuan “nyantri” itu sendiri. Wallahu alam bishowab.