Ibu-ibu itu langsung pada mencari anak-anaknya agar pulang dari jalan-jalan di mall, main di warnet, dll. Mereka khawatir, kabarnya satpol PP akan mencatat nama anak-anak dan asal sekolahnya untuk dihapus KJPnya jika di saat ‘libur’ karena wabah korona malah kedapatan berkeliaran di tempat-tempat umum.
Lihatlah saat isu tentang korona mereka ketahui, tak ada satupun yg memiliki rasa khawatir jika tertular. Tapi saat kabar akan dicabutnya KJP, mereka buru-buru menyelamatkan diri agar tidak sampai dicabut.
Fenomena sebagian ibu-ibu di Jakarta ini sedikit menggambarkan kepada kita bahwa pengetahuan akan isu tertentu sangat berpengaruh terhadap tingkat respon seseorang terhadap isu itu. Dalam pandangan ibu-ibu tadi, tercabutnya KJP jauh lebih genting daripada isu Corona.
Padahal cukup dengan memahami istilah pandemi global, kematian beribu-ribu korban, matinya kota-kota dunia, ditutupnya Mekah dan Madinah dari peziarah semua penjuru dunia, dan virus ini benar-benar sudah sangat merepotkan Jakarta di depan mata, seharusnya sudah cukup untuk membuat mereka sadar bagaimana kondisinya, dan langkah kewaspadaan seperti apa yang harus dilakukan.
Tapi kita harus memaklumi mereka. Sebab, bahkan yang well educated pun, tidak sedikit yang sama bebalnya. Lihatlah masih ada pejabat negara yg liburan ke Eropa, orang-orang pintar yang maksa buat seminar, dan yang lebih parah adalah acara-acara agama yg dengan penuh percaya diri berdalih ‘kita lebih takut Allah daripada corona’. Bahkan fatwa para ulama dunia dikecilkan sedemikian rupa.
Nah, tulisan ini ingin menyoroti ‘kesalehan’ yang salah itu. Kesalehan itu perlu ilmu. Benarlah yang imam Syafi’i katakan dulu, bahwa kesalehan berlandaskan kebodohan itu akan jauhuh lebih merusak. Makanya kesalehan yg semacam ini dulu pernah ditegur oleh Rasulullah SAW.
Ada seseorang yang tidak mau menikah, ada yang tidak mau tidur malam, dan ada yang tidak mau makan setiap hari karena maunya tetap berpuasa. Ternyata mereka semua ditegur oleh nabi. Sebab beliau yang paling saleh saja, (dan tentu tidak ada yg menandingi kesalehannya) tetap menikahi wanita, tetap tidur di malam hari, tetap memilliki hari-hari tanpa puasa.
Kesalehan tanpa ilmu justru bisa membahayakan. Seorang sahabat yg terluka dan harus mandi besar minta pandangan apakah sudah boleh bertayamum atau tidak. Dan ternyata temannya yang saleh ada yg berani mengatakan bahwa dia tidak boleh bertayamum. Hasilnya, gara-gara mandi besar di cuaca sangat dingin dalam kondisi terluka itu adalah kematian. Dan Rasulullah murka ketika kejadian ini dilaporkan.
Dalam sebuah perjalanan saat berpuasa, beberapa sahabat ada yg memaksakan diri tetap berpuasa padahal kondisinya tampak lemah. Dan kesalehan ini ternyata ditegur oleh nabi karena itu sama saja dengan membahayakan diri. Bahkan Rasulullah menyebut ‘kesalehan’ itu sebagai kemaksiatan.
Sungguh Allah menyukai hamba-Nya yang mengambil keringanan-keringanan syariat-Nya. Dan tentu saja melakukan apa yang dicintai Allah adalah bentuk kesalehan. Maka, ketika para ulama dunia sudah memfatwakan bahwa tidak perlu berjamaah ke masjid, bahkan shalat Jum’at yg wajib saja boleh untuk ditiadakan, sungguh dalam kondisi wabah seperti sekarang ini yang namanya kesalehan adalah dengan meninggalkan masjid.
Kita telah ikut menjaga maqashid syari’ah (hifdz an Nafsi). Kita telah membantu mengurangi beban berat tenaga medis yg saat ini berada di garda terdepan berperang melawan serangan ganas virus corona ini. Dan semua itu adalah kesalehan.
Jika tetap memaksa untuk melakukan kesalehan yg salah, seperti di masa nabi, itu bisa mengakibatkan kematian. Bahkan Rasulullah menyebut kesalehan orang yg berpuasa sebagai kemaksiatan. Dan di masa genting ini itu benar-benar terjadi. Sebagian saudara muslim kita yang memaksa membuat ijtima telah menghasilkan infeksi virus itu kepada sejumlah peserta yang tidak sedikit. Dan karena virus itu tak terlihat dan tidak tampak gejala penderitanya, bisa jadi ada pasien mati karena virus yg dia peroleh di tempat-tempat kesalehan. Kesalehan yang salah tentunya.
Kesalehan itu ada ilmunya. Jika tetap mau beribadah, maka ketahuilah dari penjelasan di atas bahwa ternyata ada ibadah-ibadah yg justru dilarang oleh Rasulullah. Dan menariknya ada pahala-pahala ibadah yg bisa kita peroleh secara sempurna justru ketika kita tidak melakukan ibadah tersebut.
Kata Rasulullah, jika ada yg sudah terbiasa Istiqamah beribadah saat sehatnya, atau saat di rumahnya, maka saat dia terhalang karena sakit atau safar, pahala sempurna tetap dia peroleh persis seperti ketika dia melakukan ibadah yg terhalang itu. Dan penjelasan para ulama menginformasikan kepada kita bahwa halangan lain yg semakna dengan sakit atau safar bisa dianalogikan. Lihatlah, betapa nikmatnya orang saleh yg dipenuhi dengan bekal-bekal ilmiah. Dan merekalah sebenar-benarnya orang yg takut kepada Allah. Sebab menghindari Corona adalah ibadah, meski dengan meninggalkan tempat ibadah. Dan menceburkan diri dalam bahaya corona adalah maksiat, meski tampak dilakukan di tempat ibadah.
Terakhir, jika masjid sebagai tempat yg paling sakral dan paling sering harus dikunjungi saja harus sementara kita hindari, maka tentu saja tempat-tempat lain jauh lebih harus kita hindari. Dalam kondisi emergency, tentu saja ada hukum-hukum yang dikecualikan.
Maka, bagi mereka yg tidak ada kebutuhan mendesak untuk keluar, tetap di rumah, dengan semua niatan baik di atas, adalah sebenar-benar ibadah di tengah wabah.
Wallahu a’lam