Polemik yang baru-baru kembali dimunculkan adanya upaya “memeras” dari Pancasila (5 Dasar Sila) menjadi Trisila (3 Pokok Sila), bahkan menjadi Ekasila (1 Sila Tunggal) yang diusulkan partai penguasa saat ini.
Trisila yang dimaksud mengandung tiga elemen pokok, yaitu : Sosionasionalisme, Sosiodemokrasi dan Ketuhanan yang Berkebudayaan.
Wacana usulan ini tampaknya bukan sekedar wacana interpretasi semata dalam memahami pokok-pokok dasar negara, namun lebih pada upaya “menggeser” makna dan pemahaman Pancasila yang sudah final sesungguhnya.
Bahkan, terkesan adanya upaya “membongkar” pasang ideologi negara dengan tujuan politik dan ideologi baru yang sedang dan ingin dicapai melalui kekuasaan yang sedang dipegang saat ini.
• Lantas, apa makna “Ketuhanan yang Berkebudaayaan” itu?
Kata “Tuhan” menurut KBBI adalah sesuatu yang diyakini, dipuja, disembah oleh manusia sebagai Yang Maha Kuasa.
Sedangkan “Budaya” adalah budi-daya atau kekuatan akal pikiran yang menghasilkan sebuah cipta karya, tradisi, adat istiadat atau cara hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dari dua diksi kata tersebut di atas saja, kita tidak akan menemukan hubungan korelasi keidentikan antara Tuhan dan Budaya atau Agama dengan Budaya.
Keduanya merupakan dua pengertian yang memiliki ranah wilayah masing-masing dalam pemaknaan dan penerapannya.
Keduanya bisa saja saling dikorelasikan, namun bukan dalam hubungan langsung yang sejajar maknanya dan sinkron pemahamannya.
Kedua kata tersebut hanyalah hubungan pelengkap yang jika disatu-padukan, maka tentu akan melahirkan semantik baru lagi serta istilah dan tafsiran baru lagi.
Jika kata “Tuhan” memiliki sifat metafisik, abstrak, spiritualitas, immaterial, serta Zat yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Maka, dia lebih identik dengan sifat ke-Esaan, bukaan kebudayaan.
Sedangkan kata “Budaya” merupakan hasil karya cipta pemikiran manusia yang terjangkau, terbatas, konkrit, dapat terlihat, terkadang hasil cipta itu dapat dimanefestasikan dalam bentuk material.
Sampai di sini, kita akan rancu jika tetap memaksakan ada istilah “Ketuhanan yang Berkebudayaan”.
Istilah Ketuhanan merujuk pada sejumlah prinsip keyakinan, nilai-nilai spritualitas serta aktivitas peribadatan. Sedangkan istilah kebudayaan sendiri menegasikan pada aktivitas manusia mengembangkan daya nalar cipta karyanya yang berhubungan sesama manusia.
Jadi, apa yang diinginkan dari penyatuan dua pengertian yang memiliki wilayah makna masing-masing itu?
Padahal, jika kita mau merujuk pada sejarah terbentuknya “Piagam Jakarta” pada tanggal 22 Juni 1945 bahwa konsep awal rumusan Pancasila yang dirumuskan tim 9 perumus Pancasila itu telah menyepakati sebagaimana yang telah diusulkan oleh Faksi Islam untuk mencantumkan pada sila pertama dengan kalimat:
“Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”.
Rumusan tersebut kemudian dihilangkan oleh Bung Hatta atas tekanan dan desakan dari Faksi Kristen yang merasa keberatan dengan kalimat tersebut serta mengancam memisahkan diri dari Kesatuan Republik Indonesia (Panorama Sejarah Kemerdekaan Indonesia).
Jadi, kata Ketuhanan dan Esa memang mutlak adanya untuk menegasikan menerima semua keyakinan dan agama yang selama berdasarkan pada Tuhan yang Maha Esa, dan kitab suci yang dibawa Nabi-Nya.
Dengan demikian, ajaran Pancasila jelas-jelas menolak paham Atheisme, Komunisme, Marxisme yang menolak adanya Tuhan.
Dan dalam ideologi Pancasila juga jelas dikuatkan pula dengan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme sebagai salah satu landasannya.
Jika dua diksi yang kontradikfif itu tetap dipaksakan, maka tentu akan melahirkan pengertian serta tafsiran baru yang lebih bias lagi.
Maka, kita akan patut mempertanyakan:
1. Apakah Ketuhanan di dalam Pancasila tidak lagi berdasarkan pada ke-Esaan, melainkan pada aspek kebudayaan saja?
2. Apakah Ketuhanan Yang Maha Esa; yang mengakomodir semua keyakinan/agama yang berdasarkan Tuhan yang Maha Esa, juga akan akan mengakomodir keyakinan yang hanya berdasarkan akal cipta nalar manusia?
3. Apakah ada upaya menggeser prinsip Ke-esaan dengan Kebudayaan, lalu menerima paham keyakinan pemikiran manusia yang menafikan Keesaan Tuhan?
4. Apakah ada upaya menghidupkan kembali paham Atheisme; yang tidak mengakui Ke-Esaan Tuhan?
5. Apakah ada upaya kembali menghidupkan paham Komunisme/Marxisme yang menolak prinsip-prinsip Ketuhanan yang Maha Esa?
6. Apakah pada akhirnya, agama yang dipahami sebatas budaya atau aktivitas kebudayaan semata?
Maka wajar, jika pada akhirnya kita akan memunculkan sejumlah pertanyaan untuk mempertanyakan kemana arah ideologi dari dampak interpretasi yang kacau dan pemahaman yang kontradiktif itu?
Sudahlah.. !!
Di masa pandemik ini, jangan memancing di air keruh. Rakyat Indonesia sudah paham kok mau kemana arah usulan wacana RUU Haluan Ideologi Pancasila itu ingin kalian bawa kemana arahnya.
Daripada sibuk “mempreteli” dari Pancasila ke Trisila hingga ke Ekasila, lebih baik memperbaiki ekonomi bangsa yang terlanjur kadung kian “meroket” ke level terbawah. Kemudian fokus pada penyelesaian wabah Covid-19 serta antisipasi dampaknya bagi ancaman ekonomi beberapa tahun ke depan.
Pancasila Sudah Final!!