Maha Suci Allah
adalah sebuah kalimat tauhid. Allah Maha Suci dari sifat-sifat yang
tidak layak bagi-Nya. Suci dari meninggalkan hamba yang dikasihi-Nya
berada dalam kesedihan dan kesendirian ketika ditinggal oleh orang-orang
yang dicintai dan menopang dakwahnya. Suci dari tidak kuasa mengadakan
kejadian luar biasa, yang orang-orang berakalpun tidak bisa menerimanya.
Peristiwa Isra’ dan Mikraj yang berlangsung lailan
(pada sepotong, bukan sepanjang malam) adalah salah satu hal yang luar
biasa ini. Luar biasa, sehingga kita pun perlu mengucapkan subhanallah seperti ayat di atas sehingga tidak terlena dengan keluar-biasaannya dan melupakan kekuasaan Allah swt.
Mengalami
peristiwa ini adalah sebuah kemuliaan yang besar. Dan kemuliaan hanya
diberikan kepada orang yang mulia. Beliaulah Rasulullah saw. Oleh karena
itu, saat yang paling mulia bagi Rasulullah saw. adalah ketika sedang
menjalani Isra’ dan Mikraj. Bukan ketika beliau berhijrah ke Madinah, atau saat beliau menaklukkan kota Mekah. Karena saat Isra’ dan Mikraj
sekali-kalinya Allah swt. berfirman kepada beliau tanpa perantara
Malaikat Jibril ra. Namun yang membuat kita bertanya-tanya, kenapa
ketika berada dalam kondisi yang paling mulia ini, beliau disebut dengan
hamba-Nya? Seperti tertulis nyata dalam ayat di atas. Kenapa
beliau tidak disebut dengan Rasul-Nya, Nabi-Nya, Kekasih-Nya, atau
Muhammad saja?
Kesimpulan para ulama, ayat ini menunjukkan bahwa
kondisi paling mulia yang dicapai manusia adalah ketika dia bisa
merealisasikan dirinya sebagai hamba Allah swt. Saat itulah Allah swt.
ridha kepadanya. Lalu bagaimana seseorang bisa menjadi hamba Allah swt.
yang sebenarnya? Menjadi hamba Allah swt. adalah meyakini bahwa Allah
swt. adalah Penciptanya yang berkuasa atas segala sesuatu, sedangkan dia
adalah hamba yang lemah, tiada daya dan upaya, menerima segala
keputusan Allah swt. dengan penuh kerelaan.
Ketika memperjalankan hamba-Nya dengan peristiwa Isra’,
Allah swt. membuka kesempatan yang sama kepada seluruh manusia untuk
bisa mencapai derajat kemuliaan. Karena seluruh manusia sama-sama bisa
menjadi hamba Allah swt. Berbeda seandainya yang diperjalankan adalah
seorang nabi, tidak semua orang bisa menjadi nabi; atau seorang kaya,
tidak semua orang bisa menjadi orang kaya; atau ulama, tidak semua orang
bisa menjadi ulama; atau keturunan nabi, tidak semua orang lahir
sebagai keturunan nabi.
Demikianlah karakteristik Islam, yang
tidak menjadikan kemuliaan monopoli bagi golongan tertentu. Tidak ada
alasan bagi seseorang untuk membanggakan nasabnya, karena Allah swt.
tidak menilainya berdasar nasab. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk
membanggakan ilmu dan hartanya, karena ilmu dan harta adalah tanggung
jawab yang harus ditunaikan. Hendaknya bersyukur ketika semua itu
membuatnya menjadi hamba Allah swt. yang sebenarnya. (msa/dakwatuna)