Point penting dari Wawancara dengan Pangeran Muhammad bin Salman kemarin bukanlah masalah pendirian Kota Investasi di perbatasan Jordania, Mesir dan tidak jauh dari Suriah yang ditaksir senilai setengah triliun Dolar. Bukan juga point terkait dengan krisis Teluk-Qatar, karena menurut sang Pangeran konflik dengan Qatar itu masalah sepele, Qatar bukan prioritas yang menyita perhatian Saudi, karena semakin lama terjadi embargo yang semakin merugi adalah Qatar, bukan Saudi cs.
Point penting yang diungkapkan Pangeran Muhammad dalam wawancara itu adalah “Perang di Yaman akan terus berlangsung untuk menghalangi Houthi menjadi ‘Hizbullah’ baru di Selatan Saudi”. Artinya, konflik ini tidak akan berakhir dengan negosiasi dan perundingan-perundingan, namun perang akan berakhir ketika kelompok Ansharullah telah berhasil “dibasmi” sampai ke akar-akarnya, baik dengan penyerahan senjata oleh Ansharullah dan itu tampaknya tidak mungkin, ataupun dengan mengalahkan Ansharullah secara militer di lapangan dan ini tampaknya tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Pernyataan sang Pangeran secara gamblang menunjukkan bahwa motif penyerangan Yaman oleh Saudi adalah ingin menghancurkan Houthi dan pasukannya.
Jelas ada phobia bagi sebagian negara Arab terhadap kelompok Hizbullah, hal itu terbukti dengan adanya upaya memasukkan Hizbullah dalam daftar “kelompok teroris”.
Orang pertama yang menggunakan istilah “Hizbullah baru” adalah presiden Palestina, Mahmoud Abbas, ketika mengatakan “Kita tidak akan mengijinkan berdirinya Hizbullah baru di Gaza, tidak akan ada rekonsiliasi dengan Hamas kecuali kalau Hamas menyerahkan semua senjatanya!”, menurut Abbas satu-satunya pasukan bersenjata resmi di Palestina adalah Pasukan Palestina yang berkoordinasi langsung dengan pihak Israel!
Avigdor Liebermann, Menhan Israel pun ikut-ikutan memprovokasi ketika kemarin mengatakan bahwa perang selanjutnya adalah melawan Lebanon dan Suriah secara bersama, karena pasukan bersenjata Lebanon tidak lagi independen, mereka sudah menjadi bagian dari Hizbullah!
Tidak aneh kalau konferensi “Chiefs of Defense Conference on Countering Violent Extremist Organization” yang diikuti oleh Panglima Angkatan Bersenjata dari 43 negara dunia (minus Indonesia tentunya) membicarakan tentang strategi perang melawan kelompok ekstrimis seperti Hizbullah.
Jend. Joseph Aoun, Panglima Angkatan Bersenjata Lebanon mengundurkan diri dari konferensi tersebut ketika tahu bahwa Panglima Angkatan Bersenjata Israel ikut hadir, dengan itu sang Jendral secara tegas mengatakan bahwa Lebanon tidak akan duduk satu meja dengan musuh. Diantara yang hadir adalah Panglima Angkatan Bersenjata Jordania, Mesir, Arab Saudi dan Emirates.
Hizbullah pernah memberikan beberapa pelajaran berharga bagi AS dan Israel. Pada tahun 1983 Hizbullah pernah meledakkan kamp pasukan marinir AS yang menewaskan sekitar 241 pasukan. Kini Hizbullah lebih kuat dan lebih profesional, dengan persenjataan yang lebih lengkap, mungkin 10 kali lebih kuat dari perang Hizbullah-Israel 2006.
Semua hanya masalah waktu, banyak pihak akan terlibat apabila Israel bersikeras. Pada akhirnya, ini hanyalah opini, kata orang “Opinions aren’t facts”. Biarlah waktu yang menjawab.