Ust AMS (MS) yang terhormat, Izinkan saya untuk menambahkan kepada Antum tanda-tanda “minder peradaban”-nya Gontor yang bukan cuma pada pakaian jas dan dasi saja seperti yang Antum sebutkan. Masih banyak lagi. Di bawah ini beberapa di antaranya.
Santri, guru, bahkan kiai Gontor, makannya menggunakan piring, sendok, dan garpu. Dan itu adalah budaya makannya orang kafir, kan, Tad? Mereka memang bener-bener “minder peradaban”, Tad! Mereka makan tidak pakai nampan yang biasanya digelar di atas lantai untuk lima-enam orang.
Ketika makan, mereka juga duduk di bangku, dan makanan diletakkan di atas meja di depan mereka. Dan itu semua berlangsung dengan tertib, teratur, rapi, dan bersih. Setertib, seteratur, serapi, dan sebersih budayanya orang kafir, Tad! Terlalu, kan, Tad! Masa’ orang Islam harus rapi dan teratur kayak orang kafir?
Sebelum pulang untuk liburan, mereka diajarin cara makan dengan table manner ala orang-orang Barat yang kafir itu, Tad. Lengkap dengan serbet yang biasanya berwarna putih itu. Mereka tahu mana cangkir untuk minuman panas seperti teh atau kopi, mana gelas untuk minuman dingin, mana gelas yang untuk jus, mana sendok sup, mana pisau roti, dan lain-lain.
Mereka juga tahu bagaimana menggunakan perkakas itu semua. Ketika mengaduk gula di cangkir teh atau kopi, mereka mengaduknya dengan lembut sehingga tidak mengeluarkan bunyi. Ketika menyeruput kuah sup, mereka bisa menyeruputnya dengan lembut tanpa mengeluarkan suara “slurupppp”. Itu semua etiket santri Gontor yang “minder peradaban”, Tad. Mirip dengan etiketnya orang-orang Barat yang kafir itu.
Gontor juga mengajarkan dan mewajibkan santrinya berbicara dengan bahasa Inggris, Tad, yang merupakan bahasanya orang kafir Inggris dan Amerika yang Antum sebutkan itu.
Guru senior Gontor bukan hanya lulusan UIN atau UGM atau Universitas Al-Azhar di Mesir dan Universitas Islam Madinah di Arab Saudi, tapi juga ada yang lulusan London, Tad. London itu ibukota Inggris, negeri kafir yang Antum sebutkan itu.
Gara-gara itu, Tad, banyak sekali alumni Gontor yang fasih berbahasa Inggris, hampir sefasih orang Inggris atau sefasih orang Amerika yang kafir itu! Keterlaluan, kan! Masa’ orang Islam fasih berbahasa Inggris seperti orang kafir?!
Terus, tanda untuk masuk kelas, pergantian jam pelajaran, istirahat, dan untuk berbagai kegiatan ekstrakurikuler, di Gontor digunakan lonceng, Tad. Iya, lonceng! Lonceng itu, kan, yang biasa dipakai di gereja, ya, Tad.
Gara-gara pakai lonceng itu, santri Gontor jadi terbiasa disiplin, teratur, mampu memenej waktu dengan sangat baik. Kan terlalu, ya, Tad. Masa’ orang Islam mampu mengatur waktu dengan baik. Kayak orang kafir itu, loh, Tad.
Antum belum pernah nonton acara Drama Arena (DA) atau Panggung Gembira (PG) di Gontor? Kalau belum, nontonlah, Tad, sekali-sekali! Biar data Antum tentang “minder-peradaban”-nya Gontor semakin lengkap. Pada acara DA dan PG itu, guru dan santri Gontor pada main musik, Tad! Pak Kiainya bahkan biasa membuka acara dengan menabuh drum (iya, Tad, drum, bukan beduk, bukan rebana).
Terkadang dengan memetik senar gitar. Drum dan gitar, kan, budayanya orang kafir, ya, Tad? Bahkan ada, loh, Tad, alumni Gontor yang kemahiran menabuh drumnya tidak jauh-jauh amat dari orang Inggris dan Amerika yang kafir itu. Itu, kan, terlalu, ya, Tad? Masa’ orang Islam mahir main musik kayak orang kafir, sih?
Gara-gara “minder peradaban”-nya Gontor, pernah, loh, Tad, dalam acara melayat atas wafatnya mendiang Pemimpin Palestina, Yasser Arafat, itu utusan resmi dari Indonesia ternyata banyak alumni Gontornya! Ada DS, ada HNW, dll. Gara-gara “minder peradaban”-nya Gontor, waktu presiden kita menerima tamu Raja Arab Saudi, sang penjaga dua kota suci Mekah dan Madinah, yang menerjemahkan komunikasi mereka itu juga lulusan Gontor, Tad! Gontor emang bener-bener “minder peradaban”!
Gara-gara “minder peradaban”-nya Gontor, ada alumni Gontor yang jadi diplomat dan sampai bisa menyadarkan duta besarnya yang tidak salat menjadi rajin salat! Itu juga keterlaluan, kan, Tad!
Gara-gara “minder peradaban”-nya Gontor, salah satu orang yang paling menonjol dalam Aksi 212 yang berjilid-jilid, UBN, itu alumni Gontor, Tad! Dan Antum mungkin tahu bahwa kekuatan massa 212 itu bisa menjadi kekuatan yang cukup menentukan pada 2019 nanti, di luar partai politik. Tidak masuk partai politik, tapi bisa diperhitungkan orang secara politik. Keterlaluan, kan, Tad!
Itu semua gara-gara “minder peradaban”-nya Gontor!
Saya alumni Gontor. Saya “minder peradaban”.
Tulisan ustaz Muhammad Arifin ini nggak bisa dishare karena belum berteman. Kalau boleh tambah ustaz, ada juga tuh anak Gontor yang “minder peradaban” bertemu di medan perang, yang seharusnya saling menembak, tapi jadinya malah “tajammuk” dan saling bernostalgia dengan cerita bondet, karena satunya komandan TNI, satu lagi komandan GAM.