Gontor itu kurikulumnya sederhana sekali. Muthala’ah-nya (reading bahasa Arab) adalah mata pelajaran SD di Mesir. Nahwu-nya (grammar Arab) juga menggunakan nahwu wadih, bukan kitab Alfiyah atau Jurumiyah. Pelajaran reading-nya juga sederhana sekali, sebuah buku dari oxford yang berusia hampir 1 abad, itu diajarakan dari kelas 1 sampai kelas 6, tanpa ada pergantian kurikulum (makanya ada yang kakeknya dulu santri Gontor, bukunya masih bisa diwariskan kepada cucunya).
Maka itu jika ada yang menanyakan kurikulum Gontor, jika bukan Alumni maka tidak akan dberikan. Karena biasanya akan berakhir kepada cibiran, bagaimana Gontor mengajarakn santri-santrinya dengan mata pelajaran kuno seperti itu?
Ada satu hal yang tidak diketahui, bahwa cara mengajar jauh lebih penting dilaksanakan di Gontor. Jika melihat dan hanya membaca saja buku Qiraatu Ar-Rasyidah (Buku cerita berbahasa Arab), maka itu dalam waktu dua jam saja beres. Tapi jika dilakukan dengan cara dan metode yang di gunakan di Gontor, setahun ternyata tidak habis dipelajari.
Ilmu Nahwu yang memakai nahwu wadih, jika dipelajari hanya berisi contoh-contoh kalimat, penjelasan, lalu latihan, sungguh urang “berwibawa” jika dibandingkan dengan Alfiyah-nya ibn Malik misalnya. Tapi jika diberikan dengan cara dan metode Gontory, maka ternyata ilmu nahwu itu tidak kalah seru mempelajarinya.
Begitu pula dengan Reading. Saya pernah bertanya kepada Ust Akrim Mariyat, apa tidak ada keinginan untuk mengganti materi Reading yang sudah kuno itu? Beliau menjawab ADA. Tapi kita belum menemukan buku yang cocok untuk itu. Ketika saya sampaikan buku-buku Bahasa Inggris untuk SMU di luar, beliau menolak.
Kata beliau, mempelajarai Bahasa adalah mempelajari Budaya. Dan apa yang ada di Buku Bahasa Inggris SMU itu adalah Budaya Indonesia yang di Inggriskan, bukan budaya Inggris sendiri. Wah, langsung terdiam aku…
Maka Gontor bukan anti kritik, bukan tidak punya kelemahan, bukan tidak ada kekurangan, bukan anti kepada masukan. Tapi jika itu berasal dari bukan Alumni, maka mohon maaf kemungkinan semua kritik itu akan ditolak. Karena hanya Alumni yang telah merasakan pahit getirnya mondok, merasakan semua system pendidikan dan pengajaran di Gontor, merasakan sunnah dan disiplin Gontor, merasakan semua pergerakan dan problematika Gontor, merasakan keluh kesah, sedih dan senangnya sebagai santri, merasakan makan dan minum di Gontor, dan merasakan semua aktifitas santri, mereka inilah yang lebih berhak memberi masukan kepada Gontor. Bukan Professor, DR, Insinyur, dari luar yang bisa saja justru merusak system yang terbangun di Gontor.