Bangsa Uighur adalah keturunan klan Turki yang hidup di Asia Tengah, terutama di propinsi Cina, Xinjiang. Namun, sejarah
etnis Uighur menyebut daerahnya itu Uighuristan atau Turkestan Timur. Menurut sejarah, bangsa Uighur merdeka telah
tinggal di Uighuristan lebih dari 2.000 tahun.
Tapi Cina mengklaim daerah itu warisan sejarahnya, dan oleh karenanya tak dapat dipisahkan dari Cina. Orang Uighur percaya, fakta sejarah menunjukkan klaim Cina tidak berdasar dan sengaja menginterpretasikan sejarah secara salah, untuk kepentingan ekspansi wilayahnya.
Uighuristan merupakan tanah subur 1.500 mil dari Beijing, dengan luas 1.6 juta km2 — hampir 1/6 wilayah Cina. Dan Xinjiang adalah provinsi terbesar di Cina. Di utara, tanah Uighur berbatasan dengan Kazakstan; Mongolia di timurlaut; Kirghiztan dan Tajikistan di baratlaut; dan dengan Afghanistan-Pakistan di baratdaya. Keturunan-keturunan klan Turki di Asia Tengah
memiliki asal, bahasa, tradisi dan kebudayaan dan agama yang sama.
Tahun 1924, rezim bolshevik Rusia, Joseph Stalin,
membagi etnis ini menjadi Uighur, Kazakh, Lyrgyz, Ubzek, Turkmen, Bashkir dan Tatar — dalam konferensi etnik dan pembagian negara di Tashkent, Uzbekistan.
Tahun 1949, 96 persen penduduk Xinjiang adalah klan Turki. Namun, sensus Cina terakhir menyebutkan kini hanya ada 7,2
juta Uighur dari 15 juta warga Xinjiang. Selain itu ada etnis Kazakh (1 juta), Kyrgyz (150 ribu), dan Tatar (5 ribu). Para tokoh
Uighur percaya jumlah mereka di sana 15 juta. Selain itu, kini di Xinjiang tinggal juga etnis ras Asia: Han-Cina, Manhcu, Huis,
dan Mongol.
Di luar Uighuristan diperkirakan ada 5 juta Uighur di Turkistan Barat, kini masuk negara-negara pecahan Uni Soviet: Kazaktstan, Uzbekistan, Turkmenistan dan Tajikistan. Selain itu, 75 ribu Uighur tinggal di Pakistan, Afgahnistan, Saudia Arabia, Turki, Eropa dan Amerika Serikat. Orang Uighur berbeda ras dengan Cina-Han. Mereka lebih mirip orang Eropa Kaukasus, sedang Han mirip orang Asia.
Bangsa Uighur memiliki sejarah lebih dari 4.000 tahun. Sepanjang itu, mereka telah mengembangkan kebudayan uniknya, sistem masyarakat, dan banyak menyumbang dalam peradaban dunia.
Orang Uighur memeluk Islam sejak tahun 934, saat pemerintahan Satuk Bughra Khan, pengusaha Kharanid. Saat itu, 300 masjid megah dibangun di kota Kashgar.
Islam lalu perkembangan dan menjadi satu-satunya agama orang Uighur di Uighuristan. Masjid-masjid yang megah karya bangsa Uighur contohnya Azna (dibangun abad ke-12), Idgah (abad ke-15) dan Appak Khoja (abad ke-18).
Pada masa kejayaan itu di Kashgar saja telah ada 18 madrasah besar dengan lebih 2.000 siswa baru yang masuk pertahunnya. Selain agama, di madrasah-madrasah inilah anak Uighur belajar membaca, menulis, logika, aritmatik, geometri, etik, astronomy, tibb (pengobatan), pertanian. Pada abad ke-15 di kota ini telah ada perpustakaan dengan koleksi 200 ratus ribu buku.
Orang Uighur juga telah mengenal pertanian semiintensif sejak 200 SM. Pada abat ke-7 pertanian mereka semakin berkembang dengan menaman jagung, gandum, kentang, kacang tanah, anggur, melon dan kapas.
Mereka juga telah mengembangkan sistem irigasi (kariz) untuk mengalirkan air dari sumber yang jauh dari lahan pertanian. Satu sistem irigasi kuno ini masih bisa dilihat di kota Turfan. Boleh dikatakan, kebudayaan Uighur mendominasi Asia Tengah sepanjang 1.000 tahun sebelum bangsa ini ditaklukan penguasa Manchu yang memerintah di Cina.
PENYEBAB KONFLIK UIGHUR:
Awal munculnya perseteruan dan konfik ini dimulai dari China memasukkan orang-orang Han ke dalam daerah Uighur, dimana mereka ini berbeda dari segi bahasa, adat, dan perilakunya. Satu kasus ini menguat dan terjadilah aksi demo protes terhadap pemerintahan Cina yang telah membuka akses dan memasukkan hampir dari 40% orang Han kedalam populasi Uighur.
Sedikitnya 156 orang terbunuh dan lebih dari 1.000 orang terluka saat polisi melakukan tindakan kekerasan terhadap minoritas muslim Uighur di China.
Negara-negara dan organisasi dunia mengutuk peristiwa Selasa 7 Juli 2009, di mana China melakukan tindakan kekerasan dan menggunakan kekuatan secara berlebihan terhadap Muslim Uighur. Mereka memaksa China untuk memperhatikan apa penyebab utama dari masalah yang terjadi di wilayah mayoritas Muslim, Xinjiang.
Akar penyebab masalahnya adalah kebijakan sangat keras Cina yang diterapkan oleh Sekretaris dan Ketua Partai Komunis,” kata pimpinan WUC. “Dan, pemberangusan oleh Cina di kawasan selama beberapa dekade. Dan tidak adanya usaha dari Cina untuk mendamaikan perseteruan antara Uighur dan etnies Han.
Beberapa kelompok HAM telah menyampaikan kepeduliannya atas nasib 1.434 orang yang ditangkap oleh polisi, dan mengatakan kemungkinan rakyat sipil itu akan disiksa atau diperlakukan tidak semestinya. Banyak pihak menyalahkan China atas begitu banyaknya korban. Mereka mengatakan, aksi protes berjalan damai hingga akhirnya petugas keamanan bertindak berlebihan dan menembaki kerumunan massa dengan membabi buta. Selain aparat keamanan, ribuan etnis Han yang dipersenjatai menyerang dan melakukan pembantaian sedikitnya empat pemukiman penduduk di Urumqi.
Kekerasan yang dialami orang Uighur itu telah menimbulkan gelombang pawai protes di berbagai kota dunia, seperti Ankara, Berlin, Canberra, dan Istanbul.
Ribuan demonstran di Turki berpawai untuk mendukung minoritas Uighur di China, setelah kekerasan etnik di wilayah barat laut negara itu. Sekitar 10.000 orang mengambil bagian dalam pawai itu, yang diadakan oleh partai Islam Saadet, yang marah atas apa yang mereka anggap penindasan China terhadap minoritas muslim Uighur di daerah Xinjiang.
KONDISI TERKINI:
Xinjiang merupakan wilayah administrasi Cina yang terbesar, berbatasan dengan delapan negara: Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India.
Mayoritas penduduknya adalah etnis Uighur yang beragama
Islam. Bagi warga Uighur, Islam adalah bagian penting dari kehidupan dan identitas mereka. Bahasa mereka terkait dengan
bahasa Turki, dan mereka menganggap diri mereka secara kultural dan etnis lebih dekat dengan negaranegara di Asia
Tengah ketimbang Cina. Perekonomian kawasan ini sebagian besar disokong dari sektor pertanian dan perdagangan.
Bahkan sejak berabad lampau, kota-kota di Xinjiang seperti Kashgar berkembang sebagai penghubung Jalan Sutra, jalur
perdagangan internasional yang terkenal di Abad Pertengahan. Xinjiang berada di bawah kekuasaan Cina sejak abad
ke-18. Pada tahun 1949, wilayah ini memerdekakan diri dengan nama Negara Turkestan Timur, namun tak lama usianya.
Di tahun yang sama, Xinjiang secara resmi menjadi bagian dari Republik Rakyat Cina yang berhaluan komunis. Pada 1990-an, dukungan terbuka untuk kelompok separatis meningkat setelah runtuhnya Uni Soviet dan munculnya negara-negara Muslim independen di Asia Tengah.
Namun, Beijing menindas demonstrasi dan menangkapi aktivisnya. Sejumlah besar tentara yang ditempatkan di wilayah tersebut. Beijing juga secara aktif menambah warga baru di wilayah ini. Pada sensus tahun 2000, populasi etnis Han mencapai hingga 40 persen dari populasi. Sebetulnya, ketegangan di provinsi ini berakar dari sejumlah hal yang rumit dan kompleks, terkait dengan sejarah panjang kaum Uighur.
Namun banyak pihak menyederhanakannya dengan menyebut faktor ekonomi dan budaya menjadi akar penyebab ketegangan
etnis di wilayah ini. Sebetulnya, ada benarnya juga penyebutan alasan ini.
Proyek pembangunan utama yang membawa kemakmuran di kota-kota besar di Xinjiang menarik orang-orang muda etnis Han dari provinsi lain di Cina untuk mengadu per untungan di wilayah ini. Karena keahlian dan pendidikannya, mereka mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak.
Hal ini memicu kecemburuan sosial di kalangan penduduk asli, suku Uighur. Sementara menurut lembaga advokasi hak asazi manusia yang menaruh perhatian pada nasib kaum Uighur, kegiatan komersial adalah bagian dari memarjinalkan mereka dan dalam waktu bersamaan budaya Uighur dikurangi secara bertahap oleh Beijing. Yang paling nyata, adalah penindasan atas kebebasan beragama. Amnesty International dalam sebuah la poran yang diterbitkan pada tahun 2013 menga takan bahwa pihak berwenang mengkriminalkan apa yang mereka sebut sebagai ‘kegiatan agama ilegal’ dan ‘separatisme’. Mereka juga membatasi ekspresi identitas budaya yang damai.
Tarian khas Uighur misalnya, dilarang dipentaskan. Di sisi lain, anak-anak sekolah di wilayah ini diwajibkan menguasai tari-tarian Cina.
Aktivis Uighur dan kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa pemikiran radikal tidak pernah mendapatkan daya tarik yang luas di wilayah ini pada awalnya. Namun pembatasan ekspresi religiuslah yang justru memicu siklus radikalisasi dan kekerasan.
Dilxat Raxit, juru bicara kelompok World Uyghur Congress, menyebut kebijakan baru terkait larangan penamaan bayi dengan namanama Islami kembali menegaskan “sikap bermusuhan” terhadap orang-orang Uighur. “Orang tua Han memilih nama-nama Barat dianggap trendi tapi orang Uighur harus menerima peraturan Cina atau dituduh sebagai separatis atau teroris,” kata Raxit.
Kelompok hak asasi manusia dunia juga mengutuk larangan terkait nama tersebut. “Kebijakan ini adalah pelanggaran terang-terangan perlindungan domestik dan internasional terhadap hak kebebasan beragama dan berekspresi.”
KEBUTUHAN BAHAN PANGAN DAN KETERSEDIAAN BARANG:
Pasokan untuk kebutuhan pangan masih sangat tergantung dari pemerintahan Cina. Harga bahan pangan bisa naik berlipat-lipat dikarenakan kondisi yang ada semakin memburuk dalam sisi keamanan.
AKSES DAN GERAKAN:
Untuk dapat masuk ke lokasi ini masih sangat terbatas, ditambah lagi pihak Cina menjaga ketat area Xinjiang dan masih bergantung terkait ijin dari otoritas setempat.
RESPON DARURAT
1. Ada kebutuhan terkait dengan advokasi ranah hukum
2. Kebutuhan bantuan pendidikan terhadap para pelajar-pelajar Uighur diluar Xinjiang
3. Kebebasan dalam beribadah yang saat ini dilarang di Xinjiang
Sumber: ACT, Solidaritas Kemanusiaan Dunia Islam