Syariat Islam di Aceh adalah cita-cita bangsa Aceh sejak zaman dahulu. Dan karna alasan “janji” itulah rakyat Aceh bersedia bergabung dengan RI walau kemudian dikhianati.
Tak berhenti, meski dikhianati, rakyat Aceh tetap berjuang agar syariat Islam berlaku. Maka sejarah memperlihatkan bahwa kala itu rakyat Aceh ikut memberontak, kemudian berdamai, memberontak lagi hingga akhirnya berdamai lagi dan Syariat Islam bisa berlaku.
Penerapan Syariat Islam di Aceh itu bukan gagal, tapi tidak maksimal. Dengan mengatakan “GAGAL” seolah apa yang sudah dilakukan selama ini tidak bernilai, sia-sia.
Padahal, yang membuat nilai-nilai syariat itu pudar sendiri adalah mereka-mereka yang duduk di kursi elit, digaji oleh negara.
Urusan pelaksanaan Syariat itu ada ditangan para elit yang mengambil keputusan dan kebijakan. Dalam hal ini pemerintah Aceh, Kabupaten dan Kota yang kemudian ditransfer ke rakyat Aceh untuk diikuti dan dilaksanakan bersama-sama.
Selama ini, perkara syariat Islam hanya dibebankan kepada Dinas Syariat Islam, MPU, sementara dinas-dinas dan lembaga-lembaga lain tak mau tahu bahkan merusak Syariat itu sendiri dengan event-event yang mereka buat.
Contoh saja, sebuah dinas yang tiba-tiba mengundang artis berpakaian seksi untuk event sepedaan di Aceh. Padahal selama ini Rakyat Aceh disuruh berpakaian sesuai syariat. Konyol kan?
Misal lagi, saat tiba azan shalat 5 waktu, adakah ajakan atau perintah dari para penguasa untuk menghentikan semua kegiatan? Bahkan selama ini rakyat masih sibuk di blang padang saat azan magrib tanpa ada yang memperingatkan, hanya ada yang memviralkan.
Syariat dan penerapan qanun sendiripun masih tebang pilih, jika yang kena rakyat biasa, langsung dihukum, tapi jika yang kena elit, penuh negosiasi dan akhirnya kasus menghilang.
Dengan tiba-tiba mengatakan ‘gagal’ seolah memberi peluang kepada media mainstream untuk terus menggoreng isu gagalnya syariat Islam di Aceh. Yang gagalpun tak dijelaskan disisi mana oleh media, yang penting gagal. Harus bikin cara baru atau tak usah sama sekali.
Saya lebih sepakat dengan apa yang dikatakan Ulama bahwa penerapan syariat Islam di Aceh belum optimal, belum maksimal, sehingga perlu di benahi dari setiap sudut.
Dan lebih cocok dikatakan ‘ingin digagalkan’ daripada ‘gagal’. Misal saja ketika Qanun LKS tentang lembaga keuangan syariah disepakati, tiba-tiba muncul penolakan dan ingin dikembalikan sistem konvensional gara-gara ada bank syariah yang bermasalah dan tak sanggup melayani rakyat Aceh. Yang bermasalah bank syariahnya, yang disalahkan Qanunnya. Kan error…
Sama halnya dengan hukuman cambuk, ketika ada Algojo yang salah dalam eksekusi, malah hukuman cambuk ingin dihapuskan. Ketika hukuman cambuk mengganggu dunia, malah hukuman cambuk sekarang sembunyi-sembunyi…
Padahal bisa saja hukuman cambuk tetap ditempat umum, tapi semua yang masuk dilarang bawa hp, dilarang rekam, perkara ada yang melanggar, tinggal siapkan aturan dan hukumannya. Untuk apa hukuman cambuk kalau tak memberikan efek jera kepada pelaku dan tak jadi pelajaran bagi masyarakat umum?
Dengan mengatakan gagal, seolah mengatakan bahwa masyarakat Aceh tidak tahu hukum Islam. Tidak tahu apa hukumnya jika mencuri, jika berzina, jika berjudi.
Padahal aturan itu sudah ada sejak dulu kala dalam Islam meski yang melakukannya akan selalu ada, disitulah butuh aturan hukum sehingga dihadirkan qanun yang mengatur.
Kalau ‘gagal’ berarti butuh perombakan dan percobaan ulang, ketika nanti ‘gagal’ lagi, coba lagi dengan cara baru. Syariat Islam kok coba-coba…
Maka, apa yang sudah berjalan diperbaiki, yang masih kurang ditambah, yang tak berguna singkirkan.
Seperti misal Dinas Syariat Islam yang terlihat kurang maksimal, maka coba letakkan fungsi dinas ini diatas semua dinas lain. Sehingga semua yang dibuat oleh dinas lain harus dilihat sisi kesesuain dengan syariat Islam atau tidak.
Polisi Wilayatul Hisbah, kembalikan fungsinya seperti awal-awal dulu, tidak dilebur dalam satpol pp, dan bila perlu satpol pp di bubarkan, diganti dengan WH saja. (pasti bilang ‘tidak punya anggaran dan tak sesuai aturan pusat).