Berbicara mengenai persoalan keuangan, tentunya, tidak terlepas begitu saja dengan pembagian yang terjadi pada transaksi keuangan serta tingkat kepercayaan orang yang bertransakasi. Dengan demikian, Islam menetapkan pondasi-pondasinya serta mempertimbangkannya secara syar‟i dalam memandang proses transaksi keuangan tersebut.
Dalam Al-Qur‟an surah (Al-Baqarah[2]:282) disebutkan bahwa Islam telah menetapkan gadai, tulisan, maupun persaksian sebagai alat bantu kepercayaan dalam transaksi keuangan yang dalam hal ini konteksnya adalah perkara hutang-piutang. Ayat ini dapat diartikan bahwa tulis-menulis dalam transaksi hutang-piutang merupakan suatu keharusan karena secara eksplisit hal ini menjadi sebuah acuan bahwa hutang-piutang menjadi sesuatu yang perlu di perhatikan sebagaimana persaksian juga di perlukan dalam transaksi keuangan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa persoalan transaksi keuangan dalam Islam memiliki ketentuan-ketentuan tertentu untuk menunjung tingginya tingkat kepercayaan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam bertransaksi.
Selain tulis-menulis, persaksian juga berfungsi sebagai salah satu penunjang yang tidak bersifat wajib untuk menjaga kepercayaan dalam bertransaksi. Imam Syafi‟i mengharapkan adanya persaksian dalam empat transaksi keuangan, yaitu; (1) gadai, (2) sewa, (3) mudhorobah (bagi hasil), dan (4) wakalah (agency/perwakilan).4 Pendapat Imam Syafi‟I tersebut merupakan antisipasi adanya perbedaan pendapat antara pihak-pihak yang bertransaksi, sehingga menimbulkan kerugian. Masalah yang muncul setelah pembahasan diatas adalah sejauh mana persaksian itu dibutuhkan? dan sejauh mana persaksian wanita itu dapat diaplikasikan ?
Oleh: Mohammad Deni Irawan
(Mahasiswa Master Konsentrasi Syariah dan Ushul Fiqh, Universitas Islam Negerri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta)