Kisah hidup Raja Faisal bin Abdulaziz Al Saud, seorang tokoh kunci dalam sejarah Arab Saudi, merupakan perjalanan yang penuh warna dan gejolak. Masa pemerintahannya diwarnai oleh reformasi dan modernisasi, namun tragisnya, kisah hidupnya berakhir dalam kejadian yang mengguncangkan dunia Timur Tengah.
Raja Faisal lahir pada 14 April 1906 di Riyadh, sebagai putra kedua dari Raja Abdulaziz Al Saud, pendiri Kerajaan Arab Saudi. Dalam tahun-tahun formatifnya, ia terlibat aktif dalam kampanye militer bersama ayahnya untuk mengkonsolidasikan wilayah-wilayah di Semenanjung Arab. Pada tahun 1926, Faisal diangkat sebagai Gubernur Makkah, sebuah posisi yang menjadi batu loncatan awalnya dalam dunia kepemimpinan.
Pemerintahan dan Reformasi
Pada tahun 1964, Raja Faisal memasuki masa pemerintahannya setelah kematian Raja Saud. Visinya untuk Arab Saudi melibatkan serangkaian reformasi ekonomi dan modernisasi. Melalui program pendidikan dan pembangunan infrastruktur, Raja Faisal memimpin negerinya ke arah era baru yang lebih modern dan berdaya saing. Langkah-langkahnya dalam memperkenalkan kebijakan yang mendukung perkembangan ekonomi dan pendidikan menjadi poin fokus utamanya.
Peran dalam Konflik Arab-Israeli
Masa pemerintahan Raja Faisal juga ditandai oleh ketegangan tinggi dalam konflik Arab-Israeli. Perang Enam Hari pada tahun 1967 menyaksikan kekalahan besar bagi negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi. Raja Faisal menjadi salah satu pemimpin yang paling vokal dalam menentang tindakan Israel dan membela hak-hak Palestina. Keterlibatan aktifnya dalam Konferensi Khartoum pada tahun yang sama menciptakan landasan solid untuk posisi Arab terkait perdamaian dengan Israel.
Dukungan Kuat terhadap Palestina
Raja Faisal dikenal sebagai pembela teguh hak-hak rakyat Palestina. Dukungan finansial dan politik yang konsisten diberikannya kepada Palestina menjadikan Arab Saudi sebagai pemain kunci dalam upaya untuk mengatasi konflik tersebut. Keberpihakan Raja Faisal terhadap Palestina menciptakan citra pemerintahan Arab Saudi sebagai pendukung setia perjuangan rakyat Palestina.
selama masa pemerintahan Raja Faisal bin Abdulaziz Al Saud, Arab Saudi terlibat dalam beberapa tindakan boikot terhadap negara atau entitas yang dianggap melanggar atau merugikan kepentingan Arab atau Islam. Salah satu boikot yang paling terkenal adalah boikot minyak terhadap negara-negara yang dianggap mendukung Israel selama Perang Yom Kippur pada tahun 1973.
Pada Oktober 1973, ketika Perang Yom Kippur meletus antara koalisi negara-negara Arab dan Israel, Arab Saudi bersama dengan beberapa negara Arab lainnya, termasuk Kuwait dan Uni Emirat Arab, mengumumkan boikot minyak terhadap negara-negara yang dianggap mendukung Israel, terutama Amerika Serikat dan Belanda. Tindakan ini melibatkan pengurangan atau pemutusan sementara ekspor minyak ke negara-negara tertentu.
Boikot minyak tersebut bertujuan untuk menggunakan kekuatan ekonomi negara-negara Arab sebagai alat tekanan untuk membujuk negara-negara Barat, yang dinilai mendukung Israel, untuk mengubah kebijakan mereka. Tindakan ini menyebabkan kenaikan harga minyak secara signifikan dan memiliki dampak besar terhadap ekonomi global.
Meskipun boikot ini dipraktikkan oleh beberapa negara Arab, Raja Faisal dan Arab Saudi secara khusus memainkan peran penting dalam inisiatif tersebut. Boikot ini pun mampu membuat negara-negara barat ketar ketir. Boikot ini berlangsung selama beberapa bulan dan akhirnya dicabut setelah adanya perjanjian perdamaian antara Israel dan Mesir pada tahun 1974, yang dikenal sebagai Perjanjian Camp David.
Tragedi Pembunuhan Raja Faisal
Kematian Raja Faisal bin Abdulaziz Al Saud pada 25 Maret 1975, merupakan salah satu peristiwa paling tragis dalam sejarah Arab Saudi yang menyisakan banyak pertanyaan tanpa jawaban yang pasti. Kejadian ini terjadi di istananya di Riyadh, dan pelakunya adalah keponakannya sendiri, Faisal bin Musaid.
Sejumlah laporan mengindikasikan bahwa Faisal bin Musaid memiliki ketidaksetujuan terhadap kebijakan luar negeri Raja Faisal, khususnya dalam konteks dukungan terhadap Palestina dan posisi tegasnya terhadap Israel. Hal ini menciptakan potensi bahwa ada unsur politik atau ideologis yang turut mempengaruhi tindakan tragis tersebut. Apalagi, Faisal bin Musaid kala itu baru saja pulang dari Amerika.
Pada pagi hari tanggal 25 Maret 1975, Raja Faisal menerima Faisal bin Musaid untuk sebuah pertemuan di istananya. Meskipun dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyatnya dan seringkali berinteraksi dengan mereka secara langsung, pertemuan ini berubah menjadi tragedi tak terduga.
Ketika Raja Faisal duduk bersama keponakannya, Faisal bin Musaid, yang membawa sebilah pisau, tiba-tiba menyerang Raja Faisal. Serangan ini menyebabkan luka yang fatal pada Raja Faisal. Meskipun dibawa segera ke rumah sakit, upaya untuk menyelamatkan nyawanya tidak berhasil.
Faisal bin Musaid segera ditangkap setelah peristiwa tersebut dan diadili secara hukum. Pada 18 Juni 1975, kurang dari tiga bulan setelah pembunuhan, Faisal bin Musaid dihukum mati. Eksekusinya dilaksanakan dengan cara ditembak di depan umum di Riyadh.
Warisan dan Ingatan:
Kematian tragis Raja Faisal menciptakan bayang-bayang besar yang meliputi masa pemerintahan dan perjuangan hidupnya. Meskipun pembunuhannya merupakan insiden individual, peristiwa ini menyoroti kerapuhan yang mungkin terjadi di antara keluarga kerajaan dan kompleksitas dinamika politik internal.
Dampak dan Perubahan Politik:
Kematian Raja Faisal menciptakan kekosongan kepemimpinan yang mendalam di Arab Saudi. Meskipun adiknya, Khalid bin Abdulaziz, segera naik tahta sebagai raja baru, kepergian Raja Faisal membawa perubahan besar dalam dinamika politik dan diplomatik di wilayah tersebut.
Peristiwa ini juga memunculkan pertanyaan tentang perlunya peningkatan keamanan dan pengawasan terhadap anggota keluarga kerajaan. Hal ini menciptakan refleksi mendalam dalam memahami hubungan pribadi dan politik yang rumit di dalam keluarga kerajaan.
Dalam konteks isu Palestina, pembunuhan Raja Faisal mengirimkan getaran ke seluruh dunia Arab. Raja Faisal dikenal sebagai salah satu pemimpin yang paling vokal dalam mendukung hak-hak Palestina, dan kematiannya meninggalkan ruang kosong yang sulit diisi dalam upaya diplomatik dan politik yang terkait dengan konflik Arab-Israeli hingga kini.