Saya mendapati informasi dari postingan sahabat saya, seorang guru di sebuah Madrasah Tsanawiyyah yang menshare sebuah gambar screenshoot yang diambil dari salah satu lembaran halaman di salah satu buku materi mata pelajaran Agama Islam yang diajarkan di jenjang Sekolah Dasar Islam; Madrasah Ibtidaiyyah.
Hal ini membuat kening saya berkerut dan dada saya membuncah bertanya-tanya penasaran, “Kok bisa ya?!”
Bagaimana tidak, di dalam sebuah buku mata pelajaran “Sejarah Kebudayaan Islam” yang diperuntukkan bagi siswa kelas VI Madrasah Ibtidaiyyah itu diselipkan sebuah redaksi naratif yang sangat menyimpang dan menyesatkan bagi sejarah peradaban Islam sesungguhnya secara fakta sejarah.
Pada salah satu paragrafnya tertulis “..Sunan Kudus juga menjadi Imam Syiah yang keenam..”
Apa-apaan ini maksudnya?!!
Ini buku sejarah, Pak!!
Ada apa ini?!!
Perlu diteliti dan dikaji lagi motif dibalik penyimpangan sejarah ini agar generasi bangsa kita tidak terjebak pada Distorsi Sejarah!!
Tentu, perlunya dan harus diluruskan oleh semua pihak dan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut atau diabaikan begitu saja, bukan?
Kok bisa-bisanya, ada narasi salah kaprah dalam menulis sejarah peradaban Islam pada buku materi SKI itu sendiri?!!
Terlebih lagi, diajarkan atau dipergunakan di Sekolah Dasar bagi siswa-siswi generasi Islam di Madrasah Ibtidaiyyah pula!! Meskipun hanya sekedar masuk ruang perpustakaan, terlepas ada unsur kesengajaan atau tidak, tentu harus dikritik, dibenahi dan segera diluruskan, bukan?!!
Massa iya, Sunan Kudus yang bernama lengkap Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan yang hidup di tahun 808 hingga 958 Hijriyyah itu di masa kekhalifahan Utsmani mau disamakan dengan Sayyid Ja’far bin Muhammad as-Shadiq yang hidup antara rentang tahun 83-148 H di masa kekhalifahan Muawiyah?
Sunan Kudus alias Sayyid Ja’far Shadiq, jelas-jelas nasab dan trah silsilah beliau dari kalangan Alawiyyin, keturunan ahli bait Nabi Muhammad yang ke-24 dengan silsilah sebagai berikut:
1. Ja’far Shadiq (Sunan Kudus)
2. bin Sunan Ngudung
3. bin Fadhal Ali Murtadha
4. bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar
5. bin Jamaluddin Al-Husain
6. bin Ahmad Jalaluddin
7. bin Abdillah
8. bin Abdul Malik Azmatkhan
9. bin Alwi Ammil Faqih
10. bin Muhammad Shahib Mirbath
11. bin Ali Khali’ Qasam
12. bin Alwi
13. bin Muhammad
14. bin Alwi
15. bin Ubaidillah
16. bin Ahmad Al-Muhajir
17. bin Isa ar-Rumi
18. bin Muhammad
19. bin Ali Al-Uraidhi
20. bin Ja’far Shadiq
21. bin Muhammad Al-Baqir
22. bin Ali Zainal Abidin
23. bin Sayyidina Imam Al-Husain
24. bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah.
Sedangkan Sayyid Ja’far bin Muhammad yang dimaksudkan sebagai Imam yang ke-6 itu merupakan leluhur dari Sunan Kudus yang juga merupakan Ahli Bait keturunan Rasulullah dari kalangan Alawiyyin dengan nasab sebagai berikut:
1. Sayyid Ja’far Shadiq
2. bin Muhammad al-Baqir
3. bin Ali Zainil Abidin as-Sajjad
4. bin Sayyidina Husain radhiyallahu anhu
5. bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan ibunya
Sayyidah Fathimah Zahra binti Rasulillah
6. Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam
Tentu, sangat keliru dan fatal menyamakan dua sosok yang berbeda orangnya, meski memiliki kesamaan nama dan kesamaan trah silsilah ahli bait Nabi Saw, namun sangat jauh berbeda masa hidupnya. Tahun hidup keduanya saja jauh berbeda zaman dan generasinya.
Ja’far Shadiq alias Sunan Kudus hidup dan berdakwah di Nusantara di kisaran abad 15 Masehi, sedangkan Sayyid Ja’far Shadiq leluhurnya hidup Timur Tengah, tepatnya di Baghdad pada kisaran abad ke-8 Masehi. Ada selisih terpaut antara rentang 7 abad lamanya, bukan?!
Jadi jelas, dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam di atas sangat menyesatkan jika yang dimaksudkan Sayyid Ja’far as-Shadiq Azmatkhan alias Sunan Kudus itu juga merupakan Sayyid Ja’far as-Shadiq generasi keenam ahli bait Rasulillah.
Ayah dari Sayyid Ja’far as-Shadiq ini pun disepakati oleh para sejarawan adalah Usman Haji bin Ali Murtadha, saudara kandung Sunan Ampel. Jadi, bagaimana mungkin tim ahli sejarah, tidak paham kesalahan sejarah yang begitu sangat fatal?!!
Patut dipertanyakan, bagaimana mungkin para tim penyusun buku sejarah Islam tidak paham sejarah Islam yang begitu sangat populer dalam sejarah peradaban Islam? Siapa sajakah tim penyusunnya buku materi pelajaran tersebut? Apakah ada motif lain dibalik kesalahan atau penyimpangan sejarah ini?!
Pertanyaan selanjutnya, “Apakah Sunan Kudus alias Sayyid Ja’far Shadiq atau Sayyid Ja’far Muhammad as-Shadiq itu Imam Syiah yang ke-6?!”
Lah, apa-apaan lagi ini?!!
Alih-alih berbicara sejarah, justru narasi ini secara implisit bisa jadi merupakan bentuk tuduhan keji dan fitnah sejarah yang seakan menuduh dan melecehkan ahli bait Rasulillah Saw sebagai pelaku atau pendukung penyimpangan yang menyalahi hukum syariat Islam.
Keduanya, baik Imam Ja’far as-Shadiq pertama atau Sayyid Ja’far Shadiq alias Sunan Kudus tidak lah patut dibenarkan jika istilah Syi’ah yang diselipkan pada salah satunya atau keduanya mengandung tujuan dan kepentingan terselubung secara politis atau justru menjadi streotipe buruk terhadap track record golongan Alawiyyin; sebagai pendakwah Islam di Nusantara.
Jika hal ini dibiarkan, dampaknya sangatlah besar bagi kesalahpahaman sejarah Islam di Nusantara.
Alih-alih, memunculkan kebanggaan atas keberhasilan dakwah Walisongo, bisa jadi ada pihak yang justru menolak keberhasilan apa yang telah didakwahkan para Walisongo tersebut hanya atas lantaran dugaan para pelakunya terindikasi berpaham Syi’ah. Tau lah kita kelompok Islam yang seringkali menuduh tanpa bukti bahwa Para Pendakwah Walisongo tak lebih dari sejarah fiktif. Kan ngeri..
Perlu terlebih dahulu dipahami bahwa disebut golongan “Alawiyyin”, sebab diambil dari nama leluhur datuk mereka yang bernama Sayyid ‘Alawi bin Muhammad bin ‘Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir Ilallah; tokoh ahli bait Nabi dari keturunan ke-7 Sayyidina Husien inilah yang berhasil menyelamatkan diri dari fitnah politik Syi’ah pada masa kekhalifahan Umawiyyah berkuasa.
Imam Ahmad al-Muhajir berhijrah dari Baghdad ke Hadramaut, Yaman, justru disebabkan beliau ingin menyelamatkan generasi ahli bait Nabi dari fitnah klaim Syi’ah yang menyebabkan mereka dikejar-kejar oleh penguasa kekhalifahan dinasti Mu’awiyah.
Sederhananya begini, boleh jadi Imam Ja’far bin Muhammad as-Shadiq diklaim dan diakui oleh sekelompok orang-orang Syi’ah di masanya sebagai tokoh imam-imam bagi mereka.
Tentu, hal ini dalam politik teologis atau filosofi sejarah merupakan hal yang biasa saling klaim untuk mendaulat seorang tokoh hebat sebagai bagian dari kelompok mereka demi menarik pengikut yang lebih besar lagi, terlebih keturunan ahli bait Nabi Muhammad Saw.
Penisbahan suatu aliran ilmu kalam atau teologi tertentu pada seorang tokoh kharismatik atau beberapa orang imam suci demi mendukung kelompok serta memperoleh pengakuan itu hal yang lumrah dalam sejarah, tak terkecuali klaim dan pengakuan Syi’ah terhadap Imam 12, termasuk Imam Ja’far as-Shadiq serta tokoh imam lainnya itu urusan keyakinan kelompok Syiah itu sendiri.
Sebagaimana, Imam Syafie pun juga pernah difitnah para lawannya sebagai pendukung Syi’ah Rafidhah sewaktu di Baghdad, namun Imam Syafie dapat membantah tuduhan tersebut dan membuktikan fitnah itu tidaklah benar faktanya.
Lantas, bagaimana dan dengan cara apa Imam Ja’far as-Shadiq membantah klaim atas dirinya yang dinobatkan sebagai tokoh Imam Syi’ah, jika klaim tersebut terjadi setelah masa tiadanya, masa setelah wafatnya?!
Owh ya, harus dibedakan pula dalam konteks konflik sejarah masa lalu, antara pengakuan seseorang bahwa dirinya “Syi’ie” sebagai pendukung setia mazhab Sayyidina Ali bin Thalib dalam berfiqih dengan klaim “Syi’ie” sebagai aliran teologis dan politik adu domba.
Kembali, pada pertanyaan mendasar, “Apakah Sunan Kudus itu tokoh Imam Syiah?!!”
Jawabannya, tentu Tidak!! Sungguh tidak beralasan jika Sunan Kudus itu dinarasikan sebagai tokoh Syi’ah. Hal itu jelas penyimpangan sejarah sekaligus penodaan terhadap kesucian ahli bait Nabi yang berperan besar jasanya mensyiarkan dakwah di bumi Nusantara ini.
Selanjutnya, “Apakah Imam Ja’far as-Shadiq Imam Syiah?!!”
Apakah kepercayaan itu diterima oleh pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah?!! Tentu, beliau diterima bukan sebagai seorang tokoh Syi’ah
Tentu, sebagai seorang yang berhaluan pada Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, sikap kita tidak akan bisa serta merta menerima pengakuan sepihak dan klaim dari kelompok Syi’ah tersebut serta ikutan mengaminkannya, baik penisbahan pada keduanya atau hanya salah satu dari nama Ja’far Shadiq tersebut.
Lah, lantas bagaimana mungkin para tim penyusun buku materi tersebut bisa terjebak atau menjebak pada klaim tuduhan sepihak yang menyesatkan itu, terlebih pada Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan alias Sunan Kudus maupun Ja’far Shadiq cicit mulia baginda Rasulillah Saw itu dengan narasi yang dituliskan sebagai Imam Syiah keenam?!!
Dari narasi kata “Syi’ah” yang dimunculkan- baik terhadap Ja’far as-Shadiq generasi pertama abad 8 M atau Ja’far Shadiq kedua abad 15 M- kita patut mempertanyakan ada apa dibalik narasi tersebut?
Apakah ada grand desain dari salah satu dualisme bagi pihak yang berkepentingan menyelipkan indoktrinisasi penyimpangan sejarah tersebut dalam dunia pendidikan Islam kita?
Tidak dapat disalahkannya juga, jika pada akhirnya berkembang tuduhan liar para pembaca yang menduga-duga bahwa narasi “Syiah” itu, bukan sekedar kesalahan memahami sejarah atau tidak paham sejarah -sebab tim penyusun buku materi sejarah tentu terdiri dari mereka yang berlatar belakang wawasan sejarah peradaban Islam itu sendiri.
Boleh jadi, dalam rangka ajakan untuk menerima paham Syi’ah itu sendiri secara halus atau justru sebaliknya ada tujuan demi mengerdilkan peran dakwah Wali Songo, dalam hal ini Sunan Kudus dengan mencitrakan sosok beliau secara kontraversial dalam pandangan mayoritas umat Islam di Nusantara.
Sebagai insan akademis, saya tidak suka menduga-duga, meskipun jika kita analisa secara kepentingan politik global memang ada upaya melemahkan dan mengaburkan nilai-nilai sejarah peradaban Islam, baik melalui proyek penelitian berkedok ilmiah dari para orientalis yang dibiayai sangat besar, contohnya dulu adanya misionaris, semisal Snouck Hurgronje yang dibiayai pemerintah Kolonial Belanda meneliti sisi kelemahan hukum syariat Islam di Aceh.
Melalui isu-isu kontraversial “Syi’ah” hari ini, kita juga bisa melihat dampak yang lebih mengerikan seperti yang terjadi pada perang saudara Suriah dan Lebanon yang tidak berkesudahan sampai hari ini.
Meski, sebenarnya terlampau dini untuk menganalisa “liar” ke persoalan tersebut, namun pada akhirnya isu ini sangat sentral dan urgent dibicarakan dalam konteks keutuhan kedaulatan bangsa, sebab upaya pemberantasan kelompok yang seringkali dituduh terindikasi radikalis juga ada kaitannya dalam konteks persoalan ini sangatlah erat. Ssstt..!! (Kita skip lanjutan obrolan ini.. )
Intinya, sebagai pembaca kita tetaplah arif untuk bersama-sama menganalisa secara objektif, cerdas dan tentu berdasarkan fakta-fakta catatan sejarah masa lalu, bahwa isu konflik frame “Sunni- Syi’ah” merupakan “lagu lama” yang masih sangat relevan dan trending jika diangkat hari ini ke permukaan dalam konteks adu domba dan upaya penancapan rezim kekuasaan di negara-negara mayoritas muslim.
Memang, kita tidak perlu menyikapi secara emosional berlebihan apalagi sikap anarkis, sebab hal itu justru akan semakin menguatkan masuk dalam frame mereka sebagai kelompok radikalis yang berlebih-lebihan dalam fanatisme beragama.
Saya dalam kapasitas sebagai akademisi sekaligus da’i yang tidak memiliki tendensi dan kepentingan apa pun, tidak lebih dan kurang hanya sekedar mengingatkan akan bahaya dan ancaman pihak-pihak yang terus berupaya memecah persatuan ukhuwuah, kedaulatan bangsa dan negara. Ancamannya ada dari berbagai pihak yang memiliki agenda merusakkan umat Islam dari dalam melalui orang-orang yang berpaham liberalis, sekuleris dan komunis.
Ok, saya hanya ingin mengingatkan terlebih pada saudara-saudara para pendidik untuk lebih banyak selektif mengajarkan sejarah, kalian harus lebih banyak membaca dan memahami kebenaran sejarah, khususnya terkait upaya-upaya penyimpangan sejarah peradaban Islam. Sebab guru, pengajar, pendidik, dosen merupakan “ujung tombak” pendidikan generasi bangsa ini.
Demikian juga para guru dan para orang tua jangan asal cuek dan acuh saja dengan buku-buku yang diterima dan dibaca anak-anak kita di sekolah. Kini, beban dan tugas para guru dan para orang tua lebih berat, sebab kita tidak bisa sepenuhnya mempercayakan pada kurikulum dan departemen pendidikan atau bahkan penerbitan di percetakan.
Lebih penting lagi, semoga anak didik kita, para generasi bangsa kita, khususnya generasi muda umat muslim tidak sampai “terjebak” dan salah kaprah memahami sejarah dari buku kurikulum yang dipelajari di sekolah.