Sebuah kenikmatan luar biasa bisa sarapan bersama orang-orang Sholeh, kata para Masyayikh kita, bertemu orang Sholeh adalah kenikmatan ibadah, Imam Junaid ahli sufi mengatakan “Melihat ke wajah ulama’ adalah ibadah tersendiri”.
Pagi hari ini di akhir bulan Dzulhijjah kami berkesempatan untuk mengantarkan dan mendampingi Dr. KH. Muhammad Soleh Rosyad yang sedang Safar di Jawa Timur, seorang Kiai, keturunan Kiai dan menantu Kiai Rifai Gintung yang tersohor di Banten, Santrinya ribuan, punya banyak cabang pesantren dan terbukti bisa mengangkat derajat guru di tahapan kemuliaan tertinggi pada zamannya. Dahlan Iskan pernah riset dan wawancara tentang Pesantren rintisan Kiai Rifa’i ini.
Di restoran hotel bintang empat di kabupaten Pasuruan itu Kiai Soleh menceritakan pertemuannya dengan Kiai Syukri Gontor beberapa tahun silam, inti dari percakapan dua Kiai tersebut adalah bahwa Kiai Syukri mengharuskan semua “darah biru” ini harus mujahadah ala taqwa (berjuang dalam ketaqwaan), menurut beliau kalimat itu terkesan feodal karena ada pembedaan warna darah, antara darah merah dan darah biru, membuat semua yang ada di ruangan itu bertanya-tanya akan makna tersirat dari kalimat singkat itu.
Dalam pikiran Kiai Soleh, kenapa lantas Kiai Syukri masih membedakan kasta sosial dalam masyarakat sedang Gontor adalah Pesantren modern yang anti pada penjajah dan feodalistik dalam berfikir, isyarat hati itu didengar oleh Kiai Abdullah Syukri Zarkasyi, beliau menegaskan kembali, bahwa yang dimaksud darah biru itu bukan ningrat yang ada di hari ini, semua Pejuang seperti beliau dan Kiai Soleh adalah darah biru yang sesungguhnya, dalam makna yang luas setiap orang yang berjuang untuk ummat ini, berjuang untuk kemanusiaan dan berjuang di jalan Allah, kesemuanya adalah darah biru.
Maka setiap pejuang adalah darah biru, dan setiap “darah biru” harus lebih hati-hati dari pada orang yang tidak berjuang. Standard kepantasan (‘Urf) seorang darah biru tentu lebih tinggi ketimbang orang biasa.
Seorang guru dan pengurus pesantren tentu sudah tidak pantas untuk bercelana pendek keluar rumah, meski hanya sekedar membeli tabung elpiji di tetangga misalnya.
Juga menjadi keharusan para darah biru dari pendakwah atau pengurus masjid haruslah menjaga apa yang ia ketik di media sosial, karena itu melekat dan terikat kepada dirinya sebagai seorang darah biru yang harus menjaga kehormatan “darah birunya”.
Maka jalan yang kita pilih sebagai darah biru (baca; pejuang) dan standar kepantasan adalah dua mata keping yang tidak bisa dipisahkan, nilai perjuangan harus senada dengan value yang melekatkan kepada pelakunya, dan yang lebih penting adalah seorang pejuang Kebaikan harus kuat dan mandiri agar dia bisa memperbaiki keadaan dalam makna yang lebih luas, baik saja tidak cukup, harus sehat, harus kuat dan yang jelas harus mandiri agar kebaikannya bisa meluas menjadi Rahmat bagi alam semesta.
Semoga semua orang baik, terbangun niat untuk ikut memperbaiki, tidak hanya soleh untuk dirinya sendiri saja, tapi juga bisa men-solehkan orang lain, tetangganya, masyarakatnya dan ummat manusia secara umum, agar kewajiban keummatan ini bisa segera terasa ringan, prinsip kami dalam mengembangkan pondok, Amlam tidak perlu menunggu besar untuk menolong pondok lain, dari sekarang, saat ini, kecil terus semangat menolong, besar tidak boleh lupa untuk Istiqomah menolong, itu prinsip kami, doakan !