Persoalan meminta agar diturunkan hujan memang telah jelas hukum kebolehannya di dalam Islam. Bahkan, Nabi Saw sendiri mengajarkan cara dan doanya, diantaranya dengan shalat Istisqa; shalat sunnah khusus meminta hujan.
Akan tetapi persoalannya, bahwa dalam meminta hujan tersebut apakah boleh meminta dengan cara bertawasul meminta doakan pada seseorang atau harus berdoa langsung pada Allah?
Dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tentu menyepakati dalil bolehnya bertawasul, baik bertawasul dengan amal ibadah atau melalui perantara doa orang shaleh, sebagaimana firman Allah Swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. (المائدة: ٣٥)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan atau wasilah yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al Maidah: 35)
Menurut Imam Ibn Katsir dalam kitab ”Tafsir al Qur’an al Azhim (II/52) dan Imam Fakhrudin ar Razi dalam at Tafsir al Kabir (Jilid VI, 11/173), arti wasiilah dalam ayat tersebut adalah:
هي التي يتوصل بها إلى تحصيل المقصود.
“Suatu perkara atau media yang dengannya orang bisa mendapatkan apa yang dituju.”
Adapun orang yang menggunakan suatu media atau wasilah agar dekat kepada Allah, maka disebut mutawassil (orang yang bertawasul).
Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al Maliki al Makki dalam kitabnya Mafahim Yajib ‘an Tushahah (126) menyatakan bahwa wasilah dalam ayat tersebut bersifat ‘aam atau umum, meliputi tawasul baik dengan dzat,amal kebaikan, dan selainnya, sebagaimana diterangkan:
ولفظ الوسيلة عام في الأية كما ترى فهو شامل للتوسل بالذوات الفاضلة من الأنبياء والصالحين في الحياة وبعد الممات وبالأعمال الصالحة.
“Lafal wasilah dalam ayat tersebut bersifat ‘aam sebagaimna kalian lihat, dan itu mencakup tawasul dengan Dzat-dzat yang mulia, seperti tawasul dengan para Nabi dan orang-orang shaleh baik saat mereka hidup ataupun sudah wafat, dan (juga mencakup tawasul) dengan amal-amal shaleh.”
Tawasul terhadap orang-orang shaleh yang masih hidup maupun telah wafat pun diperbolehkan, sebab kewafatan orang shaleh pada hakikatnya mereka masih hidup, sebagaimana firman Allah Swt pada surah al-Baqarah 154:
وَلَا تَقُولُوا لِمَن يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَٰكِن لَّا تَشْعُرُونَ
“Janganlah kamu katakan mereka yang diwafatkan di jalan Allah itu mereka mati, bahkan mereka hidup, sementara kalian tidak menyadarinya.” [Qs. al-Baqarah: 154]
Kembali pada persoalan antara kebolehan meminta hujan atau memindahkan hujan dengan cara bertawasul melalui doa orang shaleh yang masih hidup apakah ada contohnya di zaman Nabi Saw?
Pada zaman Rasulullah pernah terjadi kemarau panjang, kemudian datanglah seorang Arab Badui menemui Nabi Saw seraya berkata:
“Wahai Rasulullah, sungguh mati hewan-hewan ternak kami, disebabkan tidak ada turunnya hujan, mintakanlah pada Rabb-mu agar menurunkan hujan.”
Lantas Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya dan berdoa. Seketika awan mendung dan hujan pun turun dengan derasnya. Kota Madinah diguyur hujan selama kurang lebih satu pekan.
Seminggu kemudian, orang-orang Arab Badui kembali menemui Nabi Saw seraya mengadukan perihal mereka pada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, disebabkan hujan yang turun, kami mengalami kebanjiran, banyak hewan ternak dan tanaman kami yang mati.”
Rasulullah tersenyum, sembari kembali berdoa mengangkat kedua tangannya:
للَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
“Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Dari kisah kita bisa memahami bahwa dalam menurunkan hujan, menghentikan hujan, bahkan perkara memindahkan hujan sudah pernah terjadi di masa Rasulullah Saw.
Bahkan, para sahabat pun meminta langsung pada Rasulullah Saw agar didoakan turun dan berhentinya hujan, hal ini boleh dikatakan bahwa ada diantara sahabat yang bertawasul langsung dengan Rasulullah semasa hidupnya.
Demikian pula tawasul melalui orang shaleh yang telah wafat pun diperbolehkan, sebagaimana periwayatan dari Imam Baihaqi di dalam kitab Dalail Nubuwwah.
Berdasarkan sumber dari Malik ad-Dar pernah menceritakan sebuah peristiwa di zaman Sayyidina Umar Ibn Khattab pernah terjadi kemarau panjang, lantas seorang lelaki bertawasul dan ber-istighatsah dengan cara berziarah ke makam Rasulullah Saw yang ketika itu telah wafat.
Lekaki itu pun mengadukan perihal kemarau panjang itu di makam Rasulullah Saw.
يا رسول الله ، استَسْقِ الله لأمّتك فإنهم قد هلكوا
“Duhai Rasulullah, mintakanlah pada Allah agar menurunkan hujan, sebab mereka sungguh dalam kebinasaan.”
Selepas tawasul tersebut, Rasulullah Saw mendatangi Sayyidina Umar bin Khattab di dalam mimpinya seraya memberikan salam lalu menitipkan kabar kepada lelaki itu bahwa Allah akan menurunkan hujan dan katakan padanya kata Nabi, “Alaika al-Kayyis, alaika al-Kayyis..!
Maka riwayat dari Imam al-Baihaqi ini menjadi pendalilan tentang kebolehan bertawasul meminta hujan melalui wasilah orang shaleh yang telah wafat, sebagaimana riwayat tersebut di atas.
Apa yang telah kita bahas di atas adalah dalil tentang kebolehan bertawasul meminta hujan melalui doa-doa orang-orang shaleh baik yang masih hidup maupun mereka yang telah wafat.
Bahkan di dalam kisah karomah para wali-wali Allah banyak diantara mereka yang mampu menurunkan hujan atau memindahkan hujan dengan berkah keshalehan dan kemustajaban doa mereka kepada Allah Swt.
Jadi jelaslah bahwa soal meminta atau memindahkan hujan diperbolehkan dan tidak ada masalah selama meminta kepada Allah Swt, meskipun melalui bantuan doa atau berkah dari doa orang-orang shaleh.
Persoalannya kemudian, bagaimana meminta turunkan hujan atau mengalihkan hujan melalui bantuan seorang dukun atau pawang hujan yang kebanyakan meminta bantuan dari perantaraan golongan jin?
Dalil dalam meminta pertolongan atau bantuan dukun jelas-jelas dilarang dan tidak diperbolehkan, sebagaimana hadits Nabi Saw:
مَنْ أَتَى كَاهِناً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كفَرَ بِماَ أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barang siapa yang mendatangi dukun, kemudian mempercayai apa yang dia ramalkan, maka sungguh dia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan atas Nabi Muhammad Saw.” [HR. Abu Dawud].