Islam adalah agama yang dipahami hanya dengan belajar. Tidaklah mungkin hukum-hukum Islam diketahui dengan sendirinya, kecuali dengan belajar. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam memotivasi kita dalam sabdanya, “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan tunjukkan baginya salah satu jalan dari jalan-jalan menuju ke surga” (HR. Abu Dawud).
Belajar atau menuntut ilmu, tentunya pasti menggunakan akal. Akan tetapi, akal manusia terbatas, tidak mampu menjangkau semua ilmu Allah yang sangat luas. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memberikan batasan-batasan bagi manusia dalam menggunakan akalnya. Tidak semua yang dianggap baik menurut akal manusia, adalah baik dalam hakikatnya. Demikian pula, tidak semua yang dianggap buruk oleh akal manusia, adalah buruk dalam hakikatnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 216)
Oleh karena itu, merupakan kesalahan yang fatal apabila seorang yang mengaku sebagai muslim, menggunakan akalnya terlalu bebas, tanpa memerhatikan batasan-batasan yang ditentukan oleh syariat Islam. Sebagai contoh, ada tokoh Islam Liberal yang dengan akalnya menyatakan bahwa pernikahan wanita muslim dengan laki-laki kafir diperbolehkan. Menurut akal pikirannya, hal tersebut tidak menimbulkan madharat.
Pemikiran tokoh liberal tersebut merupakan hal yang sangat keliru, karena sesuatu yang menurut akal manusia tidak madharat, tetaplah tidak boleh dilakukan jika itu bertabrakan dengan ketentuan syariat Islam. Maka, jika Allah Ta’ala telah melarang wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir, cukuplah itu sebagai batasan kita.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah : 10)