Bulan November adalah bulan terakhir kegiatan pendidikan dan pembelajaran santri Pesantren Modern Amanatussalam, pesantren ini adalah pengembangan dari konsep Pondok Junwangi di Sidoarjo, sehingga masyarakat sekitar lebih familiar dengan istilah Pondok Junwangi2 ketimbang nama aslinya Amanatussalam. Tentu filosofi namanya juga berarti Amanah Darussalam (Gontor).
Kami memberikan pengarahan kepada dewan guru setelah memberikan orasi motivasi pada program KIP (Kelas Inspirasi Pagi) sebagai Quality Control detak mindset dan motivasi santri setiap minggunya, ini penting agar para santri Amlam mempunyai semangat belajar yang stabil, dan kami sebagai Pimpinan terus mengawal mereka baik dari segi spiritual juga “kesehatan” mindset mereka, karena jika mereka cukup motivasi dan kenyang Ruhani, mereka akan belajar seperti orang yang lapar akan lahap memakan apapun yang mereka butuhkan.
Kata Kyai Syukri “Sampe Ping Sewu!” (hingga Seribu Kali), harus terus ditingkatkan, dicas kembali, guru dan santri harus terus didorong, dinasehati, diarahkan dan dievaluasi, tak kenal rasa bosan, karena kata Kiai Nurcholish Junwangi, musuh dari Pendidikan adalah Kejenuhan, tentunya kejenuhan untuk terus berbenah dan berbuat baik. Maka baik tidaknya pendidikan bisa dilihat seberapa kuat dan bertahan para civitas pendidikan dalam sebuah lembaga untuk wiridan “Ping Sewu” ini. Jelas ini mantra manjur luar biasa dalam suksesi mendidik anak-anak kita di masa depan.
Dalam konsep pendidikan yang diyakini Amlam, sebelum santri dimasuki ilmu, mereka terlebih dahulu digembleng tentang adab dan Budi pekerti sebagai orang timur, belajar bilang “Inggih”, “dalem”, menata sandal dan menghormati satu sama lain dengan penuh kesopanan (andap ashor), lalu kebutuhan dasar seperti latihan ngimami, latihan pidato, memimpin dzikir setelah solat, menjadi Bilal pada salat Jum’at dan seterusnya, semuanya diselaraskan secara manis dan romantis, terbukti Ananda Halim asal Surabaya berhasil membuat keluarga “mbrebes Mili” (meneteskan air mata haru) satu keluarga termasuk neneknya yang setelah sekian purnama tidak berjumpa karena sang cucu mengimami salat Maghrib dan dzikir setelahnya dengan begitu fasih dan Khusu’, inti cerita kami merasa bahagia ternyata apa yang kami lakukan dan kami yakini selama ini tidak sia-sia dan mulia melihatkan hasilnya.
Hal yang paling sulit menjadi Kiai adalah untuk tetap tidak tenar secara konsisten, yang dibesarkan adalah pondoknya, bukan Kiainya, secara filosofis kepondok modernan-nya agar kelak Kiai jika mati, pondok tak ikut mati, karena ruh pondok tidak menempel mutlak pada diri Kiai tersebut, juga agar generasi selanjutnya, bisa secara independen melanjutkan estafet perjuangan dakwah dalam naungan pesantren.
Kami meyakini bahwa kalau cari uang di pesantren adalah salah alamat, tapi jalan kebahagiaan terlurus dan cepat adalah pengabdian di pesantren, tidak ada yang lebih menyenangkan kecuali menjadi guru yang disempatkan melihat kesuksesan muridnya, pesantren menyatukan 3 sedekah jariyah yang tak terputus pahalanya meski telah mati yaitu; Sedekah Jariyah melalu gerakan wakafnya, ilmu yang bermanfaat melalui pendidikan dan pengajaran di dalamnya, dan anak yang Soleh yang mendoakan adalah target utama output pesantren.
Berbahagialah mereka yang berjuang dan mengabdi di Pesantren, seperti beli satu dapat tiga, langsung cash dan tunai. Selamat !!