Foto yang saya pajang itu adalah foto saya dan Ustadz Luqmanulhakim bersama Dr. Dihyatun Masqon, M.A. Foto ini diambil pada bulan Juli tahun 2014, saat kami bertandang di PM Gontor untuk bersilaturrahmi dengan Pimpinan PM Darussalam Gontor.
Yang di tengah itu adalah Ustadz Dihyah, begitu biasa Dr. Dihyatun Masqon, M.A. disapa. Beliau adalah seorang pakar peradaban dunia yang telah puluhan tahun mengabdi sebagai pengajar di Pondok Modern (PM) Darussalam Gontor. Saat ini beliau menjabat sebagai Wakil Rektor 3 di Universitas Darussalam, milik PM Gontor.
Ustadz Dihyah ini dahsyat sekali. Sebagai seorang pakar peradaban, beliau ini menguasai belasan bahasa dunia. Kalau hanya bahasa arab jangan tanya lagi. Gelar doktornya beliau dapatkan dari Progam Studi Bahasa Arab, Millia University New Delhi, India.
Saya sempat mengunjungi blog beliau yang beralamat di www.dihyatunmasqon.blogspo
Selain sebagai pakar bahasa dan pakar peradaban, beliau juga dipercaya sebagai rekomendator bagi para santri yang ingin melanjutkan studi ke Eropa. Menurut Ustadz Luqman, para santri tak bakalan bisa dapat meneruskan studi ke Eropa atau mendapatkan beasiswa dari perguruan tinggi di Eropa kalau tak ada tandatangan beliau. Nama Ustad Dihyah sudah sangat di kenal di kampus-kampus terkenal di Eropa.
Nah saat itu, kami bertandang di rumah beliau pagi hari. Ustadz Luqman yang memimpin prosesi kunjungan di pagi hari yang cerah itu.
Beliau menyambut kami dengan penuh semangat. Ustadz Dihyah tampak sangat akrab dengan Ustadz Luqman. Mereka berdua saling bertanya kabar dengan suasana yang begitu hangat.
Saat itu, Ustadz Dihyah menggunakan baju koko dan bercelana kain warna coklat. Rambutnya sedikit acak-acakan. Sepertinya dari subuh hari Ustadz Dihyah belum sempat masuk ke dalam Rumah. Sewaktu kami datang, Ustadz Dihyah masih dikerumuni oleh 4-5 santri. Kemungkinan mereka sedang konsultasi mengenai studi atau meminta nasehat.
Setelah saling bersapa akrab dengan Ustadz Dihyah, Ustadz Luqman membuka pembicaraan.
“Ustadz, mohon maaf, kami bermaksud mau minta nasehat”, ujar ustadz Luqman membuka cerita.
“Oh yaa…apa…apa…apa yang bisa saya bantu?”, jawab ustadz Dihyah sangat antusias.
“Begini ustadz, saya dan rekan-rekan ingin mendirikan Pesantren. Rencananya kami akan memulai dulu dari pendidikan usia dini. Nah, mohon kiranya Ustadz berkenan memberikan nasihat,” hatur Ustadz Luqman kepada Ustadznya itu dengan begitu hormat.
“O, ya…masyaallah bagus-bagus. Luar biasa. Mantab itu, Ustadz Luqman”, jawab ustadz Dihyah bersemangat.
Ustadz Dihyah lalu menegakan tubuhnya sedikit lalu memandang wajah kami dengan mata teduhnya. Tak lama, ia pun memberikan petuah.
Beliau menjelaskan tentang pentingnya pendidikan dalam membangun peradaban manusia. Ia bercerita bagaimana pendidikan dapat mengangkat bangsa-bangsa arab, dan bagaimana pendidikan dapat mengeluarkan bangsa-bangsa Eropa dari kegelapan.
Saat bercerita, suaranya teramat lantang. Matanya teduhnya menyala terang dan berbinar-binar. Sementara tangannya bergerak-gerak pada saat ada kata-kata yang beliau anggap penting untuk kami perhatikan. Di sela-sela nasehatnya, beliau juga sering menyisipkan pepatah-pepatah dalam bahasa arab, inggris bahkan jerman.
Ia bercerita tentang tiga pilar utama pendidikan manusia, yaitu etika, estetika dan ilmu pengetahuan. Tiga pilar itu menurut beliau harus dijadikan dasar untuk menyelenggarakan pendidikan agar mampu meningkatkan kualitas peradaban manusia.
Ia juga menekankan pentingnya mengajarkan para siswa untuk berbagi atau memberi. “Hidup manusia itu jangan TAKE and GIVE. Itu tidak benar! Islam mengajarkan hidup kita itu harus GIVE and GIVE. GIVE and GIVE. Memberi! Memberi! Memberi dan teruslah memberi. Itu yang dicontohkan Rasullah kepada kita!”, ujar sangat bersemangat.
Kata-kata beliau tentang prinsip give and give ini membuat kesadaran saya bagai dipukul oleh palu godam. Membuat saya tersadar betapa prinsip take and give yang menyetir jalan hidup saya adalah sebuah prinsip yang salah besar. Memang tak semestinya kita menjadi makhluk yang selalu berpikir tentang apa yang kita dapatkan dari sesuatu yang akan kita berikan. Prinsip take and give telah membuat hidup kita menjadi sempit. Padahal pohon tetap teduh dan tetap mampu merindangi dunia karena pohon menerapkan prinsip give and give ini. Warbiyassah.
Setelah itu Ustadz Dihyah memberikan contoh tokoh-tokoh dunia yang menerapkan prinsip give and give ini dalam hidupnya. Sebagian Tokoh-tokoh dunia yang beliau sebutkan itu sangat populer di telinga saya.
Saya terpana mendengarkan pemikiran ustadz Dihyah. Pemikiran-pemikirannya tak biasa saya dengar dari para cendikiawan.
Saya semakin terpana saat Ustadz Dihyah menjelaskan petuahnya dengan aneka istilah baru yang tak pernah saya dengar sebelumnya.Seringpula petuahnya itu beliau sertai dengan cerita tentang pengalaman beliau saat mengelilingi dunia. Luasnya samudera pengetahuan beliau telah membuat ciut daya kritis saya.
Hampir setengah jam saya mendengarkan aneka petuah dari beliau tanpa memotong dengan satupun tanggapan atau pertanyaan. Saya tak mau bertanya. Saya khawatir pertanyaan saya menghambat aliran pengetahuan dari beliau.
Namun, rasanya rugi juga jika saya tidak bertanya untuk meneguk manisnya pengetahuan dari beliau. Kapan lagi berjumpa dengan orang hebat seperti ini, pikir saya.
Akhirnya saya tak kuasa menahan diri untuk bertanya. Sayapun berancang-ancang untuk mengajukan pertanyaan.
“Ustadz, nyuwun sewu. Kira-kira faktor apakah yang terpenting agar kita berhasil menghasilkan murid-murid yang beretika, berestetika dan berilmu pengetahuan sebagaimana yang Ustadz sampaikan tadi?”, tanya saya ragu-ragu.
Ustad Dihyah tak langsung menjawab. Ia memandang saya. Tapi saya tak berani membalas pandangannya.
“Pertanyaan bagus!”, ujar ustadz Dihyah.
“Menurut saya, faktor terpenting adalah Pengajar! Guru!’, ujar Ustadz Dihyah tegas dan mantab.
Wah tebakan saya meleset, ujar saya dalam hati. Saya pikir Ustadz Dihyah akan menjawab tentang pentingnya gedung, buku atau fasilitas belajar lainnya, sebagaimana yang sering saya dengar dari praktisi-praktisi pendidikan di kota-kota besar.
“Dalam pendidikan, pengajar itu memegang faktor kunci. Seorang guru harus ikhlas dalam mengajar. Tak bisa ditawar! Jika ia tak ikhlas dalam mengajar, jangan berharap muridnya akan menjadi murid yang hebat! Makanya di Gontor seluruh ustadz direkrut atas dasar keikhlasan. Mereka itu mengabdi bukan bekerja. Mereka mengajar bukan karena ingin mendapatkan gaji, honor atau fasilitas. Mereka mengajar karena ingin mengabdi dan ingin memberi!”, jelas ustadz Dihyah berapi-api.
Saya terpana mendengar paparan beliau. Dalam hati saya berkata, iya ya..kita itu selalu mengeluhkan minimnya fasilitas pendidikan saat berbicara tentang persoalan rendahnya kualitas output pendidikan kita. Padahal banyak lembaga pendidikan formal milik negara yang sudah memiliki fasilitas yang teramat lengkap, tapi tak mampu juga menghasilkan output pendidikan yang meyakinkan.
Saya menyimpan nasihat Ustadz Dihyah itu dalam sanubari saya. Petuah ini sangat keren. Inilah pangkal muasal mengapa pendidikan kita menjadi blunder. Pengajarnya, gurunya! Kebanyakan dari kita sekarang itu mengajar karena orientasi bekerja. Bukan mengabdi!
***
Tak terasa, kami telah cukup lama berada di rumah Ustadz Dihyah. Ustadz Luqman lalu melirik saya. Lirikan itu adalah sebuah bahasa isyarat dari beliau untuk menyudahi diskusi dan silaturahmi. Saya mengagguk pelan. Pertanda siap menerima perintah.
Lalu kamipun berpamitan. Sesaat sebelum pamit, saya minta izin ke Ustadz Luqman, komandan perjalanan kami, untuk bisa berfoto dengan Ustadz Dihyah.
Saya tak pernah minta berfoto saat bertemu dengan berbagai macam orang selama ini. Tapi kali ini saya berpikir saya harus berfoto dengan Ustadz Dihyah yang luar biasa ini.
Sayapun mengutarakan keinginan saya agar Ustadz Dihyah berkenan ber foto dengan saya dan rekan-rekan.
“Ustad, mohon ijin. Jika berkanan saya ingin foto dengan Ustadz. buat kenang-kenangan”, hatur saya pelan.
“Oh boleh-boleh!”, ujar ustadz Dihayah sambil meraba-raba baju koko dan celana kainnnya. Beberapa kali ia juga tampak meraba –raba rambutnya yang agak kusut.
“Sebentar-sebentar”, lanjut ustadz Dihyah sambil berdiri lalu beranjak masuk ke dalam rumahnya.
Kami menunggu di serambi rumah beliau. Beberapa menit telah berlalu. Tapi Ustadz Dihyah tak kunjung keluar. Tapi, kami tetap setia menunggu. Saya tak tahu sedang ngapain Ustadz Dihyah di dalam.
Namun setelah hampir 5 menit menunggu, tiba-tiba ustadz Dihyah keluar dari rumahnya. Kali ini sudah tak berbaju koko lagi. Ia telah mengganti pakainnya dengan setelan jas dengan dalaman kemeja putih. Penampilannya teramat rapi, gagah dan keren sekali.
Rambutnya juga tampak lebih rapi dan lebih kelimis dari sebelumnya. Tercium pula semerbak wangi yang sempat menghampiri hidung saya. Sepertinya ia baru saja menyemprotkan parfum di tubuhnya.
Saya heran melihat penampilan Ustadz Dihyah yang sangat rapi itu. Saya menebak mungkin beliau mau keluar untuk menemui pejabat penting..
Karena penasaran, saya bertanya. “Lho, Ustad, Ustadz kok rapi sekali? Memangnya Ustadz Dihyah mau kemana?”
Ustadz Dihyah memandang saya dengan pandangan yang agak keheranan, lalu beliau menjawab singkat, “Lho, katanya tadi mau foto? Ayo-ayo sini mas!”
***
Haaaah…Ya Allaoooh… masuk ke dalam begitu lama, lalu berdandan rapi ala pejabat, trus pake minyak rambut dan parfum segala, hanya karena mau foto sama kami?
Mau foto sama wong ndeso kayak kami gini aja, kok berdandan seperti itu sih Ustadz…. masyaalllaaaahhh……
***
Di era kayak gini…ternyata masih ada cendikiawan hebat yang rendah hati kayak beliau ini yak. Superrrr!
—***—
FB. Beni Sulastiyo,
Pontianak, 23.02.2018
———–
Mohon doa semua agar Ustadz Dihyah kembali sehat seperti sedia kala. Karena karena kemarin setelah tulisan ini saya buat, saya mendapat khabar, beliau sedang dirawat intensif di RSPKAD, Jakarta, sejak beberapa waktu yang lalu.