Antum jangan pernah mengaku penggila bola kalau belum mendengar istilah ”total football”. Ini adalah istilah dari sebuah karakteristik permainan sepak bola yang begitu rancak dimainkan oleh ”De Orange” alias tim nasional Belanda. Tak tik permainan yang pertama kali di perkenalkan oleh rinus mitchel ketika Ajax menjuarai piala Champion pada tahun 1971, lalu dilanjutkan oleh johan cyruf pada piala dunia tahun 1978 sebelum di jungkalkan tim Tango Argentina. Dan puncak keindahan itu membuncah di tahun 1988, di kawal trio mau mereka marco van basten, ruud gullit dan frank rijcard Belanda kembali menjadi ”penguasa eropa”.
Total Football bagi saya adalah sistem permainan sepakbola yang paling menarik. Tetapi memahami Total Football ternyata tidak segampang yang saya duga. Berulangkali membaca berbagai literatur dan artikel sepakbola, susah menemukan penjelasan mengapa dan bagaimana Total Football muncul. Hanya dengan memahami mengapa dan bagaimana, kita bisa memahami esensi sesuatu.
Yang standar tentu saja kita tahu bahwa sistem ini pertama kali muncul di Belanda dengan permainan bertumpu pada fleksibilitas pertukaran posisi pemain yang mulus. Posisi pemain sekadar kesementaraan yang akan terus berubah sesuai kebutuhan. Karenanya, semua pemain dituntut untuk nyaman bermain di semua posisi.
Penjelasan paling memuaskan malah bukan saya dapat dari orang Belanda, melainkan seorang penulis Inggris yang tergila-gila dengan sepakbola Belanda. David Winner menulis buku yang kalau diterjemahkan bebas kira-kira berjudul, “Oranye Brilian — Jenius dan Gilanya Sepakbola Belanda”.
Orang Belanda sendiri sampai terkagum-kagum dan mengatakan, ”Ah, jadi begitukah cara berpikir kami.” Banyak pemain bola Belanda seperti tersadarkan pada sosok yang berada di dalam kaca ketika mereka bercermin.
Winner tidak membahas sepakbola semata. Menurutnya Total Football hanyalah pengejawantahan ”psyche” paling dasar warga Belanda dalam memahami kehidupan. Benang merah Total Football juga ada dalam karya seni, arsitektur, dan bahkan tatanan sosial budaya masyarakat Belanda.
Berlebihan? Mungkin. Namun penjelasannya sungguh masuk akal.
Kita semua tahu ukuran lapangan sepakbola lebih kurang sama di mana-mana, sehingga ruang permainan selalu sebenarnya sama. Tapi orang Belanda sadar bahwa ruang juga adalah persoalan abstrak di dalam kepala. Membesar dan mengecilnya ruang tergantung pada cara mengeksploitasinya.
Total Football, demikian jelas buku itu, adalah persoalan ruang dan eksploitasinya itu, bukan yang lain. Fleksibilitas posisi pemain, pergerakan pemain, semuanya adalah konsekuensi dari upaya untuk menciptakan ruang agar bisa dieksploitir semaksimal mungkin.
Prinsip dasarnya sebenarnya sangat sederhana. Besar kecilnya lapangan sepakbola walau ukurannya sama, tetapi di benak bisa berubah tergantung siapa yang bermain di dalamnya.
Misalnya, begitu pemain Belanda menguasai bola maka mereka akan membuat lapangan seluas mungkin. Pemain bergerak ke setiap jengkal ruang yang tersedia. Di benak lawan lapangan akan tampak begitu lebar.
Atau, begitu lawan menguasai bola, ruang harus dibuat sesempit mungkin. Pemain yang terdekat dengan pemain lawan yang menguasai bola dituntut untuk menutupnya secepat mungkin, tidak peduli apakah itu pemain bertahan atau bukan. Bisa satu bisa dua, bahkan tiga. Tekanan harus dilakukan secepat mungkin bahkan ketika bola masih ada di jantung pertahanan lawan. Lawan terjepit dalam benak bahwa lapangan begitu sempit.
Memperlebar atau mempersempit ruangan di benak lawan tentu bukan barang mudah. Harus ada kemampuan untuk mencari ruangan. Pergerakan yang kompak. Cara mengumpan bola yang eksploitatif atas ruang yang tersedia, entah melengkung, lurus, melambung, dll. Pendeknya dibutuhkan pemahaman geometri ruangan yang tidak sederhana.
Dan ternyata keahlian ini tidak bisa ditiru oleh tim manapun di dunia ini (setidaknya sampai saat ini). Berbeda degan gaya permainan tim lain yang bisa di tularkan kepada tim lain. Ambil contoh Gaya sepk bola Jogobonto ala Brazil yang secara sukses di adopsi oleh Portugal. Lalu bagaimana tak-tik bertahan khas Italia, catenacio malah menjadi bumerang ketika justru strategi ini diaplikasikan secara optimal oleh Georgia sehingga mereka harus susah payah menjebol gaya pertahana Grendel ini. Nah, Total football ini sangat unik. Karena tidak satupun pelatih asal belanda yang mamapu mengejawantahkan startegi permainan ini kepada tim diluar Belanda. Kenapa bisa begitu?? Ya karena cara berfikir orang Belanda yang tidak pernah dimiliki oleh bangsa lain….seperti apa???
Jawabnya, menurut buku itu, didapat dari kondisi alam Belanda. Bangsa Belanda secara intrinsik bangsa yang spatial neurotic (tergila-gila oleh ruangan ataupun pemanfaatannya). Kondisi alam memaksa mereka demikian. Lima puluh persen tanahnya berada di bawah permukaan laut. Sementara sisanya terlalu sempit untuk jumlah penduduk yang berjubel. Terus menerus bangsa ini melakukan reklamasi untuk memperluas daratan. Dengan sadar persoalan tanah mereka atur dengan sangat disiplin dan ketat. Eksistensi bangsa ini tergantung bagaimana mereka merawat tanah yang tak seberapa mereka punya. Kanal, selokan air, bendungan kecil dan besar, teratur rapi membelah setiap jengkal tanah yang mereka punya. Belanda hingga saat ini adalah negara paling padat dalam ukuran per meter persegi, dan pengaturan tanahnya adalah yang paling teratur di muka bumi. Namun seberapa pun mereka mencoba, seberapa pun disiplinnya, tanah tidak akan pernah cukup tersedia.
Lalu apa yang dilakukan? Jawabnya ada di daya khayal, di benak, di alam abstraksi. Di samping secara fisik mereka mencoba memperluas wilayah darat mereka, mereka juga menciptakan ruang yang luas dialam khayal mereka. Kalau Anda kebetulan datang ke Eropa, bandingkanlah tata kota Belanda dengan negara lain. Kita akan segera sadar bahwa Belanda memang lebih sempit tapi tata kotanya dibuat sedemikian rupa rapi, sehingga terasa sangat longgar. Dibanding negara manapun di dunia, tata kota di Belanda adalah yang paling kompak di dunia. Arsitektur bangunannya, baik yang tua maupun modern, terasa sangat inovatif, dengan sudut yang sering tidak normal, bentuk bangunan yang tidak umum, aneh, tetapi kesannya selalu sama—longgar dan lapang. Karena semua lekuk ketidaknormalan adalah bagian dari upaya untuk menciptakan ruang tambahan di alam khayal tadi. Bahkan benak juga dilonggarkan untuk urusan norma sosial.
Kalau etika Protestan semarak di Belanda di awal kelahirannya, sangatlah bisa dimengerti. Mereka secara instingtif akan memberontak terhadap segala sesuatu yang sifatnya mengukung. Dalam kasus kelahiran Protestan tentu saja pemberontakan atas kungkungan ajaran Katolik saat itu. Proses itu terus berlanjut hingga sekarang. Kita tahu norma sosial Belanda adalah yang paling longgar di Eropa. Kelonggaran yang tetap diatur. Misalnya, mainlah ke Vondell Park di Amsterdam, bolehlah Anda menghisap ganja atau mariyuana dengan santai. Padahal di negara lain sembunyi-sembunyi pun Anda tidak boleh. Jejak-jejak spatial neurotic ini bisa kita temukan dengan mudah di karya-karya seni mereka bahkan di kehidupan politik,.
Tetapi kembali ke persoalan sepakbola, mentalitas pemain sepakbola juga sama persis. Ketika mereka turun ke lapangan, benak mereka selalu bermain-main dengan keinginan untuk menciptakan ruangan selonggar mungkin, lalu mengeksploitasinya. Ketika Rinus Michel membawa Ajax menjadi juara Piala Champions tahun 1971, Eropa tersadarkan sebuah sistem baru yang mulai sempurna telah lahir. Sistem yang lahir dari psyche orang Belanda yang tergila-gila dengan ruang dan pemanfaatannya. Dan ketika Michel membawa Belanda ke final Piala Dunia 1974 lahirlah istilah Total Football. Total Football sendiri sebenarnya meminjam penamaannya dari gerakan sosial yang digagas para arsitek-filosof terkemuka Belanda sekitar tahun 1970-an. Sebuah gerakan bernama Total. Memahami kehidupan perkotaan secara menyeluruh: mengatur urbanisasi, lingkungan, dan pemanfaatan energi dalam satu totalitas. Agar ruang yang tersedia di Belanda bisa termanfaatkan secara maksimal. Dan sepakbola adalah sebuah hiburan bagian dari pendekatan yang menyeluruh itu. Totalitas. Namanya: Total Football.
Apa yang bisa kita ambil pelajaran dari cara berfikir mantan Penjajah kita itu?? Yup, cara berfikirnya. Bahwa besar kecilnya statu target bisnis itu ternyata ada di khayalan kita. Target target itu bisa jadi terkesan bombastis dan kurang realistis. Tapi cara mencapainya yang harus realistis . Kreatifitas kita untuk membuat kesan bahwa target itu ”kecil” atau paling tidak reasonable adalah ada di benak kita semua. Sebagaimana orang Belanda mensiasati hidupnya yang terbatas. Dan itu ternyata dipengaruhi oleh ideologi ptotestan yang mereka anut. Mereka tidak mau di kekang oleh apapun bahkan dogma agama sekalipun. Karena itu mereka anggap mempersempit. Nah, bukankah ideologi yang tertanam di benak kita justru sebaliknya??
Gaya hidup kita yang di ajarkan oleh Rasulullah adalah gaya hidup yang dinamis dan optimis. Gaya hidup yang menyuruh kita bersikap seperti hidup selama-lamanya dalam urusan dunia. Maksimalis, dan penuh energi. Ketika dalam fikiran kita melihat target itu sebagai sebuah khayalan yang besar dan sulit di capai, maka ”permainan” kita akan babak belur karena habis untuk berfikir ”kalah dengan scor yang tidak terlalu telak”. Sebagaimana tim nas Indonesia, yang akan dianggap berpretasi apabila ”mampu” kalah dari Argentina dengan sekor 1-0 misalnya. Tapi cobalah kita mulai berfikir mengatur ritme permainan ini di kaki kita
Bola itu ada di Kaki kita sekarang, nah…mau tendang atau buang??