Arcandra Tahar (AT) menjadi sosok yang paling diperbincangkan saat ini. Nama yang awalnya cukup asing di telinga masyarakat Indonesia mendadak meroket popularitasnya bukan karena penunjukkannya sebagai menteri ESDM yang baru menggantikan Sudirman Said, tetapi malah karena kasus dwi kewarganegaraan yang menjeratnya hingga menobatkannya sebagai menteri dengan masa pengabdian paling singkat (20 hari) dalam sejarah Indonesia.
Jujur, awalnya saya tidak terlalu peduli dengan isu ini, namun setiap kali saya membuka media sosial dalam beberapa hari terakhir selalu saja saya temukan banyak sekali netizen yang memajang statusnya dengan ragam redaksi bahasa yang bernada sinis terhadapnya.
Hal ini menggelitik hati dan pikiran saya untuk mencari tahu siapa sebenarnya sosok AT dan seperti apa track recordnya selama ini yang mendasari penunjukannya sebagai menteri ESDM.
Membaca profilnya di beberapa laman digital membuat saya cukup kagum dengan segudang prestasi yang telah diraihnya selama ini. Pria kelahiran 10 Oktober 1970 ini merupakan alumnus ITB yang melanjutkan studinya ke Texas A&M Ocean Engineering dan merengkuh gelar Doctor of Philosophy di usia yang relatif muda (31 tahun).
Ia juga pernah dipercayakan sebagai Presiden Direktur Petroneering, Houston, Texas, yang bergerak dibidang energi dan minyak serta turut berkontribusi dalam membantu negosiasi Presiden Joko Widodo menarik kembali Blok Masela agar dikuasai Indonesia, dengan memutuskan eksplorasi harus dilakukan onshore bukan offshore.
Deretan prestasi dalam CV-nya cukup menjadi alasan pemerintah kita untuk menunjuknya sebagai menteri ESDM yang baru. Sosoknya dianggap tepat sebagai nahkoda yang akan memimpin kementerian ESDM beberapa tahun kedepan. Pengalamannya diharapkan mampu membawa angin segar bagi kemaslahatan pengembangan energi dan sumber daya manusia Indonesia di masa mendatang.
Merasa dipercaya dengan kapasitas pengalaman dan intelektual yang dimilikinya, ia pun terbang pulang ke negerinya memenuhi tugas pengabdian yang akan diamanahkan kepadanya. Ia pun rela menanggalkan statusnya sebagai warga negara Amerika. Negara dimana ia membangun karir profesionalnya dan mengakui karya intelektualitasnya yang kemudian dipatenkan (kalau di Indonesia mungkin belum tentu).
Namun status dwi kewarganegaraan yang dimilikinya malah menjadi kisruh dan akhirnya merenggut kesempatannya untuk mengabdi pada negeri ini. Memang benar secara UU Nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan tidak mengakui adanya dwi kewarganegaraan.
Tapi terkadang saya merasa gagal paham dengan model implementasi berbagai macam UU di negeri ini yang terkadang rigid di satu sisi namun juga acapkali longgar di sisi yang lain. UU yang hari ini kita pahami lebih bersifat birokratis dan administratif ketimbang substantif.
Seringkali urgensi secara substantif tergadaikan hanya karena terhalang proses administrasi. Padahal revisi secara adaptif untuk kepentingan yang lebih substansial sangat dimungkinkan ditempuh oleh Presiden dengan menggunakan hak diskresi.
Polemik ini sudah terkadung berhembus kencang hingga viral di media sosial. Tak dapat disangkal, media sosial kian menjelma menjadi poros kekuatan yang dapat bermakna positif maupun negatif.
Memobilisasi isu sehingga menjadi viral di dunia maya telah mampu mengintervensi suatu kebijakan negara. Isu dwi kewarganegaraan yang dimiliki AT telah menjadi viral yang kemudian bermuara pada munculnya beragam kritik terhadap
kebijakan presiden dalam pengangkatannya sebagai menteri ESDM.
Kisruh ini akhirnya ditengahi dengan pemberhentian AT secara hormat setelah hanya 20 hari menyandang status menteri.
Nada-nada sinis serta menyudutkan sosok AT dalam diskusi para netizen di media sosial menyiratkan sebuah potret yang ironi. Setidaknya komentar-komentar para netizen negeri ini dalam menyikapi isu tersebut turut mengindikasikan potret mental bangsa kita. Bangsa yang gemar mengkritik namun miskin solusi, bangsa yang senang menyudutkan apalagi mencaci maki padahal tak mampu berkontribusi.
Saya akui mengkritik adalah hal yang positif selama itu konstruktif. Namun mengkritik tanpa dasar pijakan yang jelas dan hanya dilandasi emosi tanpa pengetahuan memadai merupakan sebuah kekonyolan. Terkadang kita sering lupa bahwa untuk terlihat tolol itu sangatlah mudah, karena kualitas kata-kata adalah gambaran kualitas berpikir dan kualitas berpikir adalah cerminan seberapa berkualitasnya kita. Ikut-ikutan, mengekor dan membeo untuk menjustifikasi seseorang atau sesuatu adalah barang murah yang mudah kita temukan di dunia nyata dan maya. Carl Jung pernah berujar “thinking is difficult, that’s why most people judge.” Mudahnya menjustifikasi merupakan cerminan dari analisis yang dangkal. Entahlah, apakah masyarakat kita kurang piknik? Bukan hanya kurang piknik secara fisik, tapi bisa jadi juga kurang piknik secara intelektualitas.
Terbatasnya informasi dan adanya keengganan untuk meluangkan sedikit waktu menelaah suatu isu secara komprehensif agar bisa memilah dan memilih sehingga dapat menjustifikasi secara cermat dan bijak agar tidak hanya menjadi pembeo belaka.
Dirgahayu Negeriku!
Merdeka! Semoga jiwa dan pikiran kita juga merdeka dari kejumudan agar tidak mudah berada dalam jamaah yang membeo.
Lhokseumawe, 17 Agustus 2016