Tadi malam, saya sempat “agak marah” tepatnya kesal pada salah satu murid senior kajian rutin kelas “Afdhalus Shalawat 2” via zoom yang diikuti 114 peserta dari Indonesia dan Malaysia pada pertemuan ke-8.
Kesalnya, karena peserta “murid senior” yang sudah dididik dan seringkali dinasehati dan diingatkan ini, seringkali kelupaan dan seringkali menunjukkan sikap “Su’ul Adab” dan sikapnya yang “mengganggu” peserta lain.
Sederhana memang sikapnya, kadang tampak sepele, seperti “menyela” saat penjelasan berlangsung dengan pertanyaan atau teguran mengingatkan melalui via chat room.
Chat roomnya kadang sederhana saat penjelasan berlangsung, seperti contoh:
“Ustadz..Tuan Guru.. ini kok belum dibahas!!”
“Ini lagi bahas halaman berapa ya?!!”
“Maaf, saya baru masuk.. Ketinggalan nih!!”
“Izin, saya keluar, ada kelas lain yang dihadiri..!!”
Jujur, itu kadang mengganggu konsentrasi semua orang, termasuk saya sebagai pengajar.
Tapi ya itulah su’ul adab yang tidak mesti harus selalu ditunjukkan dalam setiap pembelajaran yang berharap adanya keberkahan ilmu dan turunnya “siir ilmu”.
Saya mengingatkan berulang kali, bagaimana kisah-kisah para ulama Shalafus Shalih dahulu menjaga adab dihadapan gurunya.
Seperti Imam Syafi’e misalnya, kata Imam Syafi’e, “Hampir 20 tahun aku duduk berguru di hadapan Imam Malik, maka selama itu pula, Imam Malik tidak pernah mengetahui saat aku membalikkan lembaran-lembaran kitab.”
Hal ini menunjukkan betapa tinggi dan takzimnya perilaku Imam Syafi’e dihadapan sang guru, sampai-sampai Imam Malik tidak mengetahui dan menyadari murid membalikkan lembaran-lembaran kitab.
Perilaku seorang murid seyogyanya sangat menjaga dan memperhatikan adab-adab dalam menuntut ilmu, misalnya tidak menimbulkan suara-suara berisik, kata-kata berbisik yang menggangu, atau cekikan candaan main-main yang tidak menunjukkan keseriusan dalam belajar. Jangan sampai terjadi, tidak boleh terjadi itu!!
Ya paling tidak, si murid haruslah menjaga sikap jangan sampai si guru terganggu konsentrasinya sewaktu memberikan ilmu, sewaktu si guru sedang mengajarkan ilmunya.
Bilamana seorang guru “terganggu” bathinnya saat dia membagikan ilmu, hatinya tidak lagi khusyu’, tidak konsen, bahkan boleh jadi tidak lagi bisa ikhlas di saat mengajar, maka akan berakibat pada hilangnya keberkahan dan siirnya Ilmu.
Di zaman modern saat ini, adab-adab halus dalam menuntut ilmu itu cenderung diabaikan, bahkan tidak diterapkan sama sekali. Dianggap berlebihan, bahkan dianggap usang dan terlalu menunjukkan sakralitas yang tidak mesti ada dalam dunia pendidikan modern.
Apa pengaruh dan akibatnya?
Ya tentu seperti yang kita lihat dan rasakan hari ini, begitulah akibatnya, hari ini dunia pendidikan kita, sama ada pendidikan agama, apalagi pendidikan umum eksak atau sosial sudah banyak yang kehilangan keberkahannya, lebih tepatnya kehilangan rohnya, berilmu, tapi tidak memiliki roh keilmuan, paham tapi cenderung tak nampak amalannya.
Meskipun hari ini media pembelajaran modern di era digitalisasi ini sudah jauh berbeda dengan pembelajaran klasikal, tapi tentu tidaklah dapat dijadikan alasan pula untuk menafikan atau membuang jauh tradisi adab-adab dalam bab “Ta’limul Muta’allim”.
Saya juga menceritakan tentang bagaimana bilamana keutamaan adab itu diberlakukan?!
Sebagaimana halnya Imam Malik tidaklah akan menuliskan satu hadits Nabi Saw, melainkan beliau terlebih dahulu berwudhu, shalat sunnah 2 raka’at, mengenakan pakaian terbaik, bersiwak dan memakai wewangian sebagai bentuk takzim dan memuliakan hadits-hadits Nabi Saw.
Disebabkan ketinggian akhlak dan adab sedemikian mulianya Imam Malik pada ilmu dan sikap agung beliau memperlakukan hadits-hadits Nabi, maka sudah menjadi kebiasaan, anugerah yang Allah karuniakan pada Imam Malik itu, setiap kali beliau memejamkan mata, maka hadirlah Rasulullah Saw dalam penglihatan bathinnya.
Imam Malik; seorang ulama hadits yang kali pertama membukukan dan mengkodifikasikan hadits dalam kitab “Muwatha” itu riwayatnya setiap kali tidur berehat dan memejamkan mata, beliau senantiasa bermimpi berjumpa dengan Rasulullah Saw. Masya Allah.
Tak terduga, sekedar “Tahaduts bi’ ni’mah” dengan sebab saya menceritakan keutamaan adab-adab mengajarnya Imam Malik; pendiri Mazhab Maliki tadi malam.
Pada malamnya, biiznillah saya diberikan anugerah dimimpikan bertemu dengan Imam Malik bin Anas.
Saya alfaqir, alhamdulillah tadi malam dijumpakan dan berbincang lama dengan Imam Malik bin Anas; yang juga pernah berguru langsung dengan sahabat Nabi dan Khadam Nabi; Anas bin Malik. Alhamdulillah.
Dalam mimpi itu, ternyata gambaran Imam Malik yang seringkali digambarkan yang gambar deskripsinya tersebar di internet dan media sosial sama sekali berbeda.
Imam Malik yang saya lihat nampak sangat muda dan lebihnya ternyata sangat gagah dan tampan. Dalam rombongan orang banyak dikatakan, “Itu Imam Malik datang!”
Saya rasakan sempat berdialog banyak, tapi tidak terlalu ingat apa yang diobrolkan. Jelasnya, hal yang saya masih ingat ketika terbangun Imam Malik mengajari cara mandi wajib dan mempraktikkan caranya pada alfaqir dengan tiga kali tuangan.
Lalu saya tanya mengapa cara Anda tidak sama dengan Imam Syafi’e? (Karena saya mazhab Syafi’e, jadi saya bandingkan soal niat dan tata cara basuhannya). Kata beliau, “Menurut saya seperti ini sudah cukup!!
Ya soal tata cara amalan Fiqhiyyah antara Imam Syafie dan gurunya Imam Malik memang ada perbedaan-perbedaan. Imam Malik hanya menyandarkan pada riwayat hadits dan qiyas amalan ahli Madinah, sedangkan Imam Syafi’e memadukan antara riwayat sunnah dan ra’yu (nalar logis/qiyas).
Walhasil, apa yang saya alami tadi malam, dan saya tuliskan ini, bukan tujuan untuk “bertafakhur” (pamer atau membanggakan diri), tapi sebagai dasar keyakinan bahwa orang-orang Awliya wa Shalihin itu mereka hidup dan mengetahui setiap kali nama mereka disebutkan atau dibaca manaqib biografi hidup mereka. Wallahu ‘alam.
“Janganlah kamu mengira orang-orang yang berjuang sabilallah itu mati, bahkan mereka itu hidup dan masih diberikan rezeki, akan tetapi kalian tidak menyadarinya..” [QS. Al-Baqarah.]