Perlawanan rakyat terhadap tiran kekuasaan saat ini, menunjukan anomali ekstrim. PDIP berjuang bersama rakyat. Smentara PKS milih balik badan, bela rezim Jokowi. PKS lenyapkan diri dari peta perlawanan rakyat. Pemandangan yg tidak biasa.
Padahal hampir 10 tahun, PDIP dan seluruh kadernya berdiri di pihak Jokowi, membela dan mendukung seluruh kebijakan politik kekuasaan.
Bahkan PDIP selalu tampil di barisan terdepan menghadapi, menentang setiap perlawanan rakyat terhadap kebijakan pemerintah Jokowi yg dinilai tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat.
Selama hampir 10 tahun itu juga PKS berdiri di belakang rakyat, vokal mendampingi melawan ketidakadilan kekuasaan. PKS adalah salah satu partai oposisi yg selalu ngotot menentang PDIP dan partai pendukung jokowi lainnya dalam pergulatan politik nasional.
Hampir 10 tahun, PKS memperlihatkan militansinya sebagai oposisi yg selalu konsisten mewakili keresahan dan mebela kepentingan rakyat.
Namun hari ini keadaan berubah. PKS tiba-tiba memilih bercerai dengan rakyat dan menerima tawaran berkoalisi dengan kekuasaan. Sebaliknya, PDIP kehilangan momen meneruskan persekutuannya dengan rezim, berbalik mendukung masyarakat.
Dampaknya, PKS dengan cepat kehilangan kepercayaan masyarakat. Cacian, makian, hinaan terhadap PKS, secara vulgar menyebar di berbagai jejaring medsos. Di mata masyarakat, derajat PKS tak lebih dari pelacur politik yg dengan gampanya menukarkan penderitaan masyarakat dengan tawaran kompensasi, kenikmatan, manfaat yg dijanjikan kekuasaan.
PKS telah merelakan dirinya sebagai babu “tukang kayu” yg turut terlibat dalam skenario penghancuran demokrasi Indonesia.
Sebaliknya, rakyat nampak menerima PDIP sebagai pengganti PKS dalam melanjutkan perlawanan teehadap kekuasaan yg tida adil. Dosa selama hampir 10 tahun yg dilakukan PDIP bersama Jokowi, lenyap tiba-tiba.
Rakyat mungkin lupa, PDIP saat ini memang tidak punya pilihan lain selain harus menyatu dengan rakyat setelah di dihinkan dan dihempaskan Jokowi dari koalisi sejak konflik jelang pilpres kemarin.
PDIP Terpaksa harus bermanis-manis kata mendukung perlawanan rakyat. Memanfaatkan kemarahan dan perjuangan rakyat untuk menyelamatkan kepentingan politiknya yg sedang di-gergaji Jokowi-Prabowo.
Terutama untuk kepentingan di pilkada Jakarta. Kita tau, PDIP dijegal. Awalnya lewat politik premanisme jokowi seret semua partai masuk ke dalam kubu KIM+. Tidak menyisahkan satupun partai basis parlemen yg bisa diajak berkoalisi oleh PDIP.
Suara PDIP hanya 14%. Sementara thereshold suara 20%. Otomatis terjegal. Tidak bisa mengusung calon. Tiba-tiba PDIP dikejutkakan kabar baik dari MK yg memutuskan penurunan ambang batas pencalonan jadi 7,5%. Namun kurang dari 24 jam, kembali hendak dibatalkan oleh Baleg DPR lewat revisi UU Pilkada yg bertujuan menganulir keputusan MK.
Sejak awal dijegal di Jakarta, PDIP sudah bermain skenario untuk menyatu dengan masyarakat. Ikut numpang ke dalam kemarahan dan memanfaatkan perlawanan masyarakat terhadap skenario licik kekuasaan.
Masyarakat konsolidasi, turun ke jalan, berkeringat, habis suara teriakan kritik pemerintah dan DPR. Bahkan di beberapa daerah demonstrasi berjalan Chaos, banyak jatuh korban luka. Tak lupa, kekuatan Nitizen juga menjelma kritikan masif di jejaring medsos.
Sementara elit dan kader PDIP, tampil di TV, koran, medsos ikut suarakan kritikan. Sambil teriak, kami berdiri bersama rakyat, berjuang melawan kelicikan, kediktatoran kekuasaan Jokowi yg secara ugal-ugalan merusak demokrasi, merampas kedaulatan politik masyarakat.
Pertanyaannya, apakah benar PDIP sedang berjuang membela demokrasi dan kedaulatan politik rakyat?
Ataukah PDIP sedang berusaha memanfaatkan, menunggangi, mempolitisir perlawanan rakyat untuk ikut mengagalkan upaya pemerintah dan DPR anulir, batalkan keputusan MK ? Agar PDIP punya kesempatan mengusung calon kepala daerah, terutama dalam kontestasi Pilkada Jakarta ? Apakah rakyat udah lupa, siapa yg dulu usung Jokowi sebagai presiden ?
Apakah rakyat udah lupa, selama hampir 10 tahun PDIP terlibat bersama dalam perilaku setan kekuasaan menjajah rakyat, memiskinkan rakyat, merampok hak-hak rakyat lewat kebijakan demi kebijakan yg tidak adil ?
Apakah rakyat udah lupa, selama hampir 10 tahun, PDIP terlibat dalam skenario licik kekuasaan, kediktatoran, korupsi dan turut membantu Jokowi membangun dinasti politik keluarganya ?
Apakah secepat itu, rakyat melupakan semua bentuk kejahatan politik yg sangat dalam merobek-robek hati rakyat, mendatang banyak kesulitan, bencana sosial-ekonomi yg dilakukan PDIP bersama Jokowi selama hampir 10 tahun ?
Mungkin saja rakyat udah melupakan semua itu karena didesak keadaan. Terutama warga Jakarta yg memang tidak punya pilihan lain selain harus menerima PDIP dengan tangan terbuka dan pura-pura lupa akan perilaku setan PDIP selama hampir 10 tahun.
Bahwa satu-satunya partai yg bisa usung Anies sebagai tokoh kebanggaan rakyat Jakarta adalah PDIP.
Tapi apakah benar, PDIP akan benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat Jakarta saat menjadi partai penguasa ketika sukses dudukan Anies sebagai Gubernur ?
Saat ini, selain marah terhadap Jokowi karena memainkan skenario licik menjegal Anies, masyarakat juga mulai melihat PDIP dengan rasa iba hati sebagai korban cawe-cawe politik Jokowi. Masyarakat mulai terprovokasi memposisikan Anies dan PDIP seperti dua sisi mata uang yg tak bisa di lepas-pisahkan. Sama-sama menjadi korban penjegalan politik Jokowi.
PDIP yg kini mengobral janji akan mengusung Anies, mendapatkan apresiasi yg luar biasa. Jika PDIP benar-benar mendaftarkan Anies, secara politis, sangat menguntungkan PDIP di Jakarta. Sebagian besar suara konstituen PKS yg terlanjur kecewa akan pindah ke PDIP karena memilih Anies. Apalagi pileg lalu menempatkan PKS sebagai pemenang di peringkat pertama Jakarta dengan perolehan 19,04% suara.
Mayoritas suara PKS di Jakarta, berasal dari kalangan pemilih Islam yg juga bisa digunakan PDIP untuk memutihkan dirinya dari citra partai berideologi komunis, PKI.
Hakikatnya, PDIP tak ada bedanya dengan PKS, bertindak berdasarkan asas manfaat, menghalalkan segala cara untuk mengamankan kepentingan politik partai.
Jika PKS memilih lenyap dari peta perlawanan rakyat dan berbalik membela rezim Jokowi, maka PDIP sedang berusaha memanfaatkan perlawanan rakyat untuk lepas dari ancaman penjegalan Jokowi.
Inilah gambaran menjijikan Demokrasi transaksional Indonesia, menjebak rakyat dalam skenario licik parpol dan para elitnya. Rakyat didekati, diperalat hanya sebagai alat politik suksesi kepentingan elektoral. Setelah dapat, rakyat, mampus juga bodoh amat.
Perlawanan kali ini, harusnya jadi momen bagi Rakyat untuk melenyapkan semua bentuk perilaku licik para elit. Revolusi, merebut kekuasan dan kembalikan kedaulatan politik, lenyapkan sistem demokrasi liberal yg cenderung transaksional.
Membangun sistem politik yg benar-benar bisa memperbaiki, merajut kembali jakarta dan Indonesia yg kini sedang terbaring kritis, sakit parah sebagai ekses dari sistem politik demokrasi liberal yg memberi kesempatan para elit berlaku seperti iblis.